Selasa, 23 April 2013

Kritik Ibn Rusyd Terhadap al-Ghazali


Ibn Rusyd dengan penuh hormat mengakui otoritas keilmuan dan keulamaan Al-Ghazali, makanya ia tampak sangat sungguh-sungguh menanggapi serangan Al-Ghazali terhadap para filsuf, sehingga ketika ia melakukan sanggahan dan bantahannya ia mengutip kembali secara utuh hampir semua masalah yang dipaparkan oleh Al-Ghazali.

Sebagaimana diketahui, Al-Ghazali menegaskan “takfir” kepada para filsuf dalam tiga poin persoalan, sebagaimana ditulis pada bagian akhir bukunya Tahafut al-Falasifah, pertama, kekekalan alam dan semua substansi adalah kekal; kedua, pengetahuan Allah tidak menjangkau hal-hal partikular pada benda-benda; dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap adanya kebangkitan fisik di akhirat. Ketiga masalah itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, dan jika dipercayai berarti mendustakan para Nabi.

Maka, dengan seksama dan cermat Ibn Rusyd menulis sanggahannya dalam buku Fashl al-Maqal tentang ketiga masalah tersebut. Terhadap tuduhan pertama, bahwa kekadiman alam itu dalam pandangan mereka tidak sama dengan yang dipahami oleh para teolog. Perbedaan pandangan – apakah alam ini kekal atau baru – yang terjadi antara para teolog Asy’ariyah dan para filsuf, hanyalah perbedaan dalam terminology semata. Penyebutan ala mini kekal atau baru, pada kenyataannya adalah sama, karena kedua-duanya sama-sama tidak disebut secara eksplisit dalam wahyu.

Namun, jika diperhatikan, ayat-ayat yang menjelaskan tentang penciptaan ala mini dpat diketahui bahwa ia dicipta dari ketiadaan (creatio ex nihilo), akan tetapi wujud alam itu sendiri dari masa yang mengikutinya terus berkesinambungan tanpa henti. Persoalan ini memang pelik, dan menurut Ibn Rusyd orang boleh saja berijtihad menentukan pendiriannya dalam masalah ini. Jika ijtihadnya tepat ia akan berpahala dan jika keliru mudah-mudahan diampuni.[1]

Mengenai masalah kedua, Ibn Rusyd menilai Al-Ghazali telah melakukan kesalahan dalam menilai para filsuf. Sebab, tidak ada pandangan para filsuf yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui hal-hal partikular sama sekali. Para filsuf itu mengatakan bahwa Allah mengatahui dengan pengetahuan yang tidak sama dengan pengetahuan manusia, sebagaimana dikutip oleh Ibn Rusyd:

“Bahwa Allah mengetahui hal-hal partikular itu dengan pengetahuan yang tidak serupa dengan pengetahuan kita terhadap hal itu, sebab pengetahuan kita terhadap hal itu merupakan efek dari objek yang diketahui terjadi bersamaan dengan terjadinya objek dan mengalami perubahan bersamaan dengan terjadinya perubahan objek tersebut. Pengetahuan Allah merupakan sebab bagi objek yang diketahui-Nya, yaitu segala wujud yang ada. Barangsiapa menyamakan dua macam pengetahuan itu berarti ia menyamakan esensi dan sifat-sifat dari hal-hal yang berlawanan, dan itu adalah puncak kebodohan.[2]

Dalam bukunya “Al-Najat”, Ibn Sina secara tegas menyebutkan, “jika Anda mengetahui gerak benda-benda langit seluruhnya, maka Anda akan tahu setiap kejadian gerhana, setiap pertautan dan perpisahan yang terjadi secara partikular. Demikian juga Allah mengetahui yang universal, tidak ada suatu benda fisik pun yang lolos dari pengetahuan-Nya dan tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya sesuatu pun meski sekecil atom, baik yang di langit maupun yang di bumi.[3] Pandangan seperti ini sesuai dengan penjelasan Allah dalam Al-Qur’an. Maka, dengan mencermati pernyataan Ibn Sina tersebut, tampaknya Al-Ghazali melakukan kekeliruan dalam memahaminya. Padahal menurut pernyataan itu, Allah mengetahui yang partikular secara universal, yakni dengan cara pengetahuan Allah sendiri, bukan dengan cara manusia.

Masalah ketiga, tentang kebangkitan jasmani di akhirat itu, menurut Ibn Rusyd, hanyalah masalah teoritis saja.[4] Ibn Rusyd menyatakan bahwa pernyataan Al-Ghazali yang mengafirkan Al-Farabi dan Ibn Sina dalam masalah itu bukanlah pernyataan yang qath’i (berkekuatan hukum pasti). Karena, dalam buku yang ditulis Al-Ghazali sendiri “Faisal al-Tafriqah” ditegaskan bahwa pengkafiran karena pelanggaran ijma’ masih bersifat tentatif. Dalam masalah seperti itu, ijma’ tidak mungkin terjadi, sebagaimana diriwayatkan dari generasi Salaf. Dalam hal ini memang ada penakwilan yang hanya dilakukan oleh ahli ta’wil.

Ibn Rusyd menyatakan, bahwa apa yang dibicarakan orang tentang eskatologi, dan hari kebangkitan itu adalah dalam rangka memotivasi seseorang untuk melakukan amalan-amalan utama, sebagaimana yang ia katakan: “Demikianlah persoalan yang menyangkut kehidupan akhirat yang lebih kondusif untuk melakukan pelbagai amalan utama. Oleh karena itu penggambaran kehidupan akhirat dengan hal-hal yang bersifat fisikal empirik lebih mudah dipahami dari pada yang bersifat abstrak spiritual”.[5]

Meski Ibn Rusyd banyak melancarkan kritik kepada Al-Ghazali, terlebih di bagian akhir buku Tahafut al-Tahafut yang dengan keras ia menyatakan; “Wala syakka anna hadza al-rajula akhtha’a ‘ala al-syari’ah kama akhtha’a ‘ala al-hikmah[6] (Tidak diragukan lagi bahwa orang ini - Al-Ghazali - telah melakukan kesalahan terhadap syari’at dan filsafat sekaligus). Namun di dalam mengkaji Al-Ghazali, ia berusaha untuk bersikap objektif, sehingga selain mengkritik ia juga memberi penilaian positif sesuai dengan konteksnya.

Sebagai contoh, Ibn Rusyd setuju dengan pendapat Al-Ghazali yang menolak pandangan mengenai kehidupan akhirat, bahwa orang-orang yang ragu terhadap kehidupan akhirat berarti telah merusak ajaran agama, dan dia termasuk zindiq, yang menyatakan bahwa nilai tertinggi yang ingin dicapai manusia hanyalah kelezatan semata. Selain itu, juga ketika Ibn Rusyd melancarkan kritik kepada Al-Farabi dan Ibn Sina, terlihat posisinya, bukan karena ingin mendukung Al-Ghazali, namun untuk mendudukkan persoalan pada proporsinya.




[1] Ibn Rusyd, Fashl Maqal, p. 40-43. Jika mengikuti bunyi hadist dalam masalah ijtihad, maka akan diberikan dua pahala bagi ijihad yang benar, dan satu pahala jika ijtihadnya salah.
[2] Ibn Rusyd, ibid, p. 38-39.
[3]Ibn Sina, Al-Najat, fi al-hikmah al-manthiqiyyah, wa al-thabi’iyyah wa al-ilahiyyah (ed. Majid Fakhri), (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1982), p. 172.  Bandingkan dengan,  Shaliba, Jamil, Min Aflatun ila Ibn Sina, (ttp: Dar al-Andalus, 1981), p. 87-88
[4] Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, p. 873
[5] Ibn Rusyd, ibid, p. 870
[6] Ibn Rusyd, ibid, p. 874

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...