Ibn Rusyd dengan penuh hormat
mengakui otoritas keilmuan dan keulamaan Al-Ghazali, makanya ia tampak sangat
sungguh-sungguh menanggapi serangan Al-Ghazali terhadap para filsuf, sehingga
ketika ia melakukan sanggahan dan bantahannya ia mengutip kembali secara utuh
hampir semua masalah yang dipaparkan oleh Al-Ghazali.
Sebagaimana diketahui, Al-Ghazali
menegaskan “takfir” kepada para filsuf dalam tiga poin persoalan,
sebagaimana ditulis pada bagian akhir bukunya Tahafut al-Falasifah,
pertama, kekekalan alam dan semua substansi adalah kekal; kedua, pengetahuan
Allah tidak menjangkau hal-hal partikular pada benda-benda; dan ketiga,
pengingkaran mereka terhadap adanya kebangkitan fisik di akhirat. Ketiga
masalah itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, dan jika dipercayai
berarti mendustakan para Nabi.
Maka, dengan seksama dan cermat Ibn
Rusyd menulis sanggahannya dalam buku Fashl al-Maqal tentang ketiga
masalah tersebut. Terhadap tuduhan pertama, bahwa kekadiman alam itu dalam
pandangan mereka tidak sama dengan yang dipahami oleh para teolog. Perbedaan
pandangan – apakah alam ini kekal atau baru – yang terjadi antara para teolog
Asy’ariyah dan para filsuf, hanyalah perbedaan dalam terminology semata.
Penyebutan ala mini kekal atau baru, pada kenyataannya adalah sama, karena
kedua-duanya sama-sama tidak disebut secara eksplisit dalam wahyu.
Namun, jika diperhatikan, ayat-ayat
yang menjelaskan tentang penciptaan ala mini dpat diketahui bahwa ia dicipta
dari ketiadaan (creatio ex nihilo), akan tetapi wujud alam itu sendiri
dari masa yang mengikutinya terus berkesinambungan tanpa henti. Persoalan ini
memang pelik, dan menurut Ibn Rusyd orang boleh saja berijtihad menentukan
pendiriannya dalam masalah ini. Jika ijtihadnya tepat ia akan berpahala dan
jika keliru mudah-mudahan diampuni.[1]
Mengenai masalah kedua, Ibn Rusyd
menilai Al-Ghazali telah melakukan kesalahan dalam menilai para filsuf. Sebab,
tidak ada pandangan para filsuf yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui
hal-hal partikular sama sekali. Para filsuf itu mengatakan bahwa Allah
mengatahui dengan pengetahuan yang tidak sama dengan pengetahuan manusia,
sebagaimana dikutip oleh Ibn Rusyd:
“Bahwa Allah mengetahui hal-hal
partikular itu dengan pengetahuan yang tidak serupa dengan pengetahuan kita
terhadap hal itu, sebab pengetahuan kita terhadap hal itu merupakan efek dari
objek yang diketahui terjadi bersamaan dengan terjadinya objek dan mengalami
perubahan bersamaan dengan terjadinya perubahan objek tersebut. Pengetahuan
Allah merupakan sebab bagi objek yang diketahui-Nya, yaitu segala wujud yang
ada. Barangsiapa menyamakan dua macam pengetahuan itu berarti ia menyamakan
esensi dan sifat-sifat dari hal-hal yang berlawanan, dan itu adalah puncak
kebodohan.[2]
Dalam bukunya “Al-Najat”,
Ibn Sina secara tegas menyebutkan, “jika Anda mengetahui gerak benda-benda
langit seluruhnya, maka Anda akan tahu setiap kejadian gerhana, setiap
pertautan dan perpisahan yang terjadi secara partikular. Demikian juga Allah
mengetahui yang universal, tidak ada suatu benda fisik pun yang lolos dari
pengetahuan-Nya dan tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya sesuatu pun
meski sekecil atom, baik yang di langit maupun yang di bumi.[3]
Pandangan seperti ini sesuai dengan penjelasan Allah dalam Al-Qur’an. Maka,
dengan mencermati pernyataan Ibn Sina tersebut, tampaknya Al-Ghazali melakukan
kekeliruan dalam memahaminya. Padahal menurut pernyataan itu, Allah mengetahui
yang partikular secara universal, yakni dengan cara pengetahuan Allah sendiri,
bukan dengan cara manusia.
Masalah ketiga, tentang kebangkitan
jasmani di akhirat itu, menurut Ibn Rusyd, hanyalah masalah teoritis saja.[4]
Ibn Rusyd menyatakan bahwa pernyataan Al-Ghazali yang mengafirkan Al-Farabi dan
Ibn Sina dalam masalah itu bukanlah pernyataan yang qath’i (berkekuatan
hukum pasti). Karena, dalam buku yang ditulis Al-Ghazali sendiri “Faisal
al-Tafriqah” ditegaskan bahwa pengkafiran karena pelanggaran ijma’ masih
bersifat tentatif. Dalam masalah seperti itu, ijma’ tidak mungkin terjadi,
sebagaimana diriwayatkan dari generasi Salaf. Dalam hal ini memang ada
penakwilan yang hanya dilakukan oleh ahli ta’wil.
Ibn Rusyd menyatakan, bahwa apa
yang dibicarakan orang tentang eskatologi, dan hari kebangkitan itu adalah
dalam rangka memotivasi seseorang untuk melakukan amalan-amalan utama,
sebagaimana yang ia katakan: “Demikianlah persoalan yang menyangkut kehidupan
akhirat yang lebih kondusif untuk melakukan pelbagai amalan utama. Oleh karena
itu penggambaran kehidupan akhirat dengan hal-hal yang bersifat fisikal empirik
lebih mudah dipahami dari pada yang bersifat abstrak spiritual”.[5]
Meski Ibn Rusyd banyak melancarkan
kritik kepada Al-Ghazali, terlebih di bagian akhir buku Tahafut al-Tahafut
yang dengan keras ia menyatakan; “Wala syakka anna hadza al-rajula akhtha’a
‘ala al-syari’ah kama akhtha’a ‘ala al-hikmah”[6]
(Tidak diragukan lagi bahwa orang ini - Al-Ghazali - telah melakukan kesalahan
terhadap syari’at dan filsafat sekaligus). Namun di dalam mengkaji Al-Ghazali,
ia berusaha untuk bersikap objektif, sehingga selain mengkritik ia juga memberi
penilaian positif sesuai dengan konteksnya.
Sebagai contoh, Ibn Rusyd setuju
dengan pendapat Al-Ghazali yang menolak pandangan mengenai kehidupan akhirat,
bahwa orang-orang yang ragu terhadap kehidupan akhirat berarti telah merusak
ajaran agama, dan dia termasuk zindiq, yang menyatakan bahwa nilai tertinggi
yang ingin dicapai manusia hanyalah kelezatan semata. Selain itu, juga ketika
Ibn Rusyd melancarkan kritik kepada Al-Farabi dan Ibn Sina, terlihat posisinya,
bukan karena ingin mendukung Al-Ghazali, namun untuk mendudukkan persoalan pada
proporsinya.
[1] Ibn Rusyd, Fashl Maqal, p. 40-43.
Jika mengikuti bunyi hadist dalam masalah ijtihad, maka akan diberikan dua
pahala bagi ijihad yang benar, dan satu pahala jika ijtihadnya salah.
[2] Ibn Rusyd, ibid, p. 38-39.
[3]Ibn Sina, Al-Najat, fi al-hikmah
al-manthiqiyyah, wa al-thabi’iyyah wa al-ilahiyyah (ed. Majid Fakhri),
(Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1982), p. 172.
Bandingkan dengan, Shaliba,
Jamil, Min Aflatun ila Ibn Sina, (ttp: Dar al-Andalus, 1981), p.
87-88
[4] Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, p.
873
[5] Ibn Rusyd, ibid, p. 870
[6] Ibn Rusyd, ibid, p. 874