Ibn
Rusyd merupakan salah seorang filsuf muslim terbesar di Barat, karena pada
masanya, filsafat Islam mencapai puncaknya. Ia termasuk tokoh pemikir yang
sangat produktif, meliputi pelbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, teologi,
fikih, falak, kedokteran, nahwu dan lainnya. Hanya, sangat disayangkan, banyak
karyanya yang ditak berhasil ditemukan lagi. Terutama, ketika ia diterpa fitnah
di akhir masa hidupnya, di mana penguasa karena dorongan kaum agamawan – para
fuqaha dan mutakallimin – memusuhinya, karena pergumulannya dengan filsafat.
Secara
umum, karya Ibn Rusyd dapat dikelompokkan menjadi; karya asli, ulasan panjang (syuruh
kubra) atau tafsirat, ulasan sedang (syuruh wusta) atau jawami’,
dan ulasan pendek (syuruh sughra) atau talkhisat. Selain karya
aslinya, karya ulasan itu sebagian besar dilakukan terhadap karya Aristoteles.
Pada tafsir dan syarh, Ibn Rusyd terlebih dahulu menampilkan teks yang
dinyatakan oleh Aristoteles secara literal, paragraf demi paragraf dari
terjemahan yang diterimanya, lalu menginterpretasikan dan mengulasnya. Usaha
tersebut diilhami oleh para mufassir. Sedangkan pada talkhish, Ibn Rusyd
hanya meringkas dan menampilkan pokok-pokok pikiran Aristoteles tanpa
menyertakan teksnya. Ia tidak mengemukakan pandangan dialektik melainkan cukup
menampilkan pandangan ilmiah saja. Oleh karena itu, ada yang memasukkan, bahwa
tipe talkhis tersebut sebagai karya murni Ibn Rusyd.[1]
Sedangkan
karya aslinya merupakan tulisan yang dibuatnya sendiri, meski saat ini sulit
diketahui secara pasti jumlahnya. Meski demikian, Renan, berhasil
mengelompokkannya dalam bukunya Ibn Rusyd wa al-Rusydiyah, karya Ibn
Rusyd sesuai dengan bidangnya. Filsafat sebanyak 39, ilmu kalam sebanyak 5,
fikih sebanyak 8, ilmu falak sebanyak 4, nahwu sebanyak 2, ilmu kedokteran
sebanyak 20.[2]
Dalam
masalah ketuhanan, Ibn Rusyd menuliskan pokok-pokok pemikirannya dalam trilogi
karya monumentalnya; yakni Fasl al-Maqal, Manahij al-Adillah dan Tahafut
al-Tahafut. Ketiga-tiganya dipandang sebagai karya Ibn Rusyd yang
menampilkan masalah kefilsafatan bernuansa ketuhanan, sehingga ada yang menilai
bahwa masalah-masalah yang dibahas itu bercorak teologis-filosofis.[3]
Ketiga buku itu mempunyai karakteristik masing-masing, baik dalam metode dan
sitematika penyajiannya. Berikut ini, penulis uraikan secara ringkas ketiga
buku tersebut:
a.
Fasl al-Maqal
Judul
lengkap buku tersebut adalah Fasl al-Maqal fi Taqrir Ma Baina al-Hikmah wa
al-Syari’ah min al-Ittisal (Kata Pembeda/Distingsi Mengenai Hubungan antara
Filsafat dan Syari’at). Dilihat dari jumlah halamannya, buku ini paling tipis
di antara ketiga buku tersebut. Ada yang menyebutkan, bahwa buku ini sebagai
pengantar untuk buku Tahafut al-Tahafut, sebagai Ghazali yang menulis
buku Maqasid al-Falasifah sebelum menulis Tahafut al-Falasifah.
Meski
tipis, buku ini memuat banyak hal terutama mengenai pokok-pokok yang berkaitan
dengan filsafat dan agama. Beberapa edisi terbitan Dar al-Afaq al-Jadidah
Beirut dan Mahmud Ali Shabih Mesir tidak membuat judul untuk sub-sub bab
bahasan dalam buku tersebut. Sedangkan Muhammad Imarah dalam catatan edisinya
membuat sub bab buku tersebut, yang terdiri dari 15 poin, dimulai dengan hukum
mempelajari filsafat dan pentingnya penggunaan nalar, dan diakhiri dengan
metode pengajaran syari’at.
Buku
Fasl Maqal ini, dapat dikatakan sebagai rambu-rambu kerangka umum
pemikiran yang dicanangkan Ibn Rusyd bagi orang yang hendak mempelajari
filsafat dan agama, mempelajari filsafat dengan pendekatan agama, atau
mempelajari agama dengan pendekatan filsafat. Hal itu didasarkan pada pendirian
Ibn Rusyd, bahwa keduanya tidak bertentangan, bahkan dapat berdampingan secara
harmonis, saling menguatkan dalam sinergi ilmiah yang integral.
b.
Manahij Al-Adillah
Sebenarnya buku ini mempunyai judul lengkap Al-Kasyf an
Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah. Buku sering disebut dengan Manahij
al-Adillah atau Al-Kasyf saja. Buku ini ditulis Ibn Rusyd pada saat
menjadi qadi di Seville untuk masa jabatan kedua, tahun 1179-1180. Buku
ini menyajikan masalah teologis dengan pendekatan filsafat. Al-Kasyf ini
terdiri dari 5 pasal yang masing-masing membahas suatu tema ketuhanan.
Secara ringkas, pembahasan dalam buku ini adalah; Pertama,
menyajikan tema pembuktian tentang wujud Allah. Pada pasal ini Ibn Rusyd
memaparkan suatu argumentasi yang disebutnya dalil al-‘inayah dan dalil
al-ikhtira’ Kedua, menyajikan pembahasan tentang keesaan Allah, dengan
menampilkan argumentasi Asy’ariyah. Ketiga, menyajikan pembahasan tentang
sifat-sifat Allah. Keempat, menyajikan pembahasan tentang tanzih, bahwa
Allah terhindar dari unsur fisikal dan keserupaan dengan makhluk. Kelima,
membahas tentang Af’al Allah, dalam pasal ini terdapat pembahasan
tentang keadilan ilahi dan eskatologi.
c.
Tahafut al-Tahafut
Buku ini ditulis oleh Ibn Rusyd dalam rangka menanggapi
serangan Al-Ghazali melalui bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para
Filsuf). Dalam buku Tahafut al-Tahafut ini, Ibn Rusyd hendak
merekonstruksi pelbagai pandangan filsafat sejati, sebagaimana yang ia temukan
dalam karya dan pemikiran Aristoteles, dan berusaha menolak kesalahan yang
dibawa oleh para filsuf Platonik yang dianggapnya merusak pemikiran
Aristoteles. Lebih jauh, Ibn Rusyd melibat bahwa apa yang disebut Al-Ghazali,
dalam Tahafut Al-Falasifah, bukanlah semua filsuf, melainkan filsuf yang
berpikiran Neo-Platonik, meski Al-Ghazali memandang bahwa semua filsuf mulai
dari Aristoteles sampai Ibn Sina adalah sama. Di sinilah, Ibn Rusyd melihat
bahwa justru pandangan Al-Ghazali yang dituangkan dalam buku Tahafut
al-Falasifah itu yang rancu.[4]
Ibn Rusyd menyajikan dalam buku ini dengan membahasnya
hamper setiap kajian Ibn Rusyd didahului dengan pengutipan masalah yang ditulis
oleh Al-Ghazali pada umumnya ditandai dengan kalimat qala Abu Hamid
(Al-Ghazali mengatakan), dan tanggapan Ibn Rusyd pada umumnya ditandai dengan
kalimat qultu (saya mengatakan).
Dari 20 pokok persoalan yang dikemukakan Al-Ghazali itu
dikaji poin per poin oleh Ibn Rusyd. Berdasarkan penomoran yang ditulis oleh
Sulaiman Dunya dalam edisinya, terdapat tidak kurang dari 221 masalah dalam
buku Tahafut al-Falasifah yang ditinjau oleh Ibn Rusyd. Ternyata, tidak
semua masalah yang dibahas oleh Al-Ghazali disanggah oleh Ibn Rusyd, melainkan
ada beberapa di antara penilaian atau penolakan Al-Ghazali yang dibenarkan oleh
Ibn Rusyd. Hal ini menunjukkan bahwa buku Tahafut al-Tahafut tidak semua
pembahasannya merupakan penolakan terhadap tulisan Al-Ghazali, meski diakui
bahwa sebagian besar merupakan tinjauan kritis Ibn Rusyd terhadap pandangan
Al-Ghazali.
Yang
menarik, Jika ditelisik dari segi penamaan masing-masing buku tersebut, dapat
dikemukakan bahwa Al-Ghazali menamai bukunya dengan Tahafut al-Falasifah,
yang berarti kerancuan berpikir para filsuf, karena ia melihat banyak pemikiran
para filsuf yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Al-Ghazali
mengomentari dalam masalah metafisika, karena banyaknya masalah yang dikupas
para filsuf itu yang salah dan sedikit yang benar. Sementara dalam masalah
fisika, di dalamnya tercampur antara yang benar dan yang salah, maka tidak
mungkin mengambil ketetapan berdasarkan pandangan umum saja. Al-Ghazali
mengkritik para filsuf karena kelemahan argumen mereka dalam 17 persoalan dan
karena pertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sebanyak 3 masalah pokok.
Berbeda dengan Al-Ghazali dalam menamakan bukunya, Ibn Rusyd
mengambil nama dari judul buku Al-Ghazali, Tahafut al-Tahafut (Kerancuan
buku yang ditulis Al-Ghazali bernama Tahafut al-Falasifah). Selanjutnya,
jika dibandingkan dengan cara penyajian masalah, Al-Ghazali – sebagaimana
pernyataannya dalam pendahuluan bukunya – didasarkan pada apa yang ia temukan
pada karya dua filsuf muslim; Al-Farabi dan Ibn Sina. Hal ini karena menurut
Al-Ghazali keduanya merupakan orang yang paling condong ke pemikiran
Aristoteles. Jadi yang dimaksud dengan kata “alfalasifah” adalah
Al-Farabi dan Ibn Sina.[5]
Karena itulah Ibn Rusyd menilai Al-Ghazali unfair
dengan menyebut kerancuan atau inkonsistensi para filsuf, padahal informasi
yang ia peroleh hanya berasal dari sumber sekunder, tanpa berusaha melacak dari
sumber primer langsung sebagai objek yang dikritiknya, yakni Aristoteles.
Selanjutnya, jika Al-Ghazali mengakui bahwa Al-Farabi dan Ibn Sina bagian dari
para filsuf, mengapa ia melakukan generalisasi dengan menyebut alfalasifah,
dan tidak menyebut sebagian atau alfailasufani saja.
Sementara itu, Ibn Rusyd tampak lebih hati-hati dalam
menamakan judul bukunya. Ia tahu bahwa Al-Ghazali, seorang ulama dan pemikir
terkemuka yang memiliki banyak karya. Karena yang ia kritik hanya satu bukunya
berjudul Tahafut al-Falasifah saja, maka ia tidak ingin menggunakan kata
Tahafut al-Ghazali (Kerancuan Al-Ghazali) untuk menamakan judul bukunya
sebagai kritik, seperti Al-Ghazali yang menggunakan kata-kata “Kerancuan Para
Filsuf” melainkan ia memilih judul Tahafut kitab al-Ghazali al-Musamma bi Tahafut
al-Falasifah, yang disingkat dengan Tahafut al-Tahafut.[6]
Yang menarik, terdapat titik persamaan antara dua tokoh ini,
jika Al-Ghazali menulis Maqashid al-Falasifah sebelum menulis Tahafut
al-Falasifah, Ibn Rusyd juga menulis buku Fashl al-Maqal sebelum
menulis Tahafut al-Tahafut, sehingga merupakan pengantar sebelum
keduanya menulis buku Tahafut tersebut.
[1] Al-Iraqi, Athif, Al-Naz’ah
al-‘Aqliyyah, p. 42-43
[2] Selengkapnya, lihat Renan dalam Ibn
Rusyd wa al-Rusydiyah, 80-93. Sementara itu Sulaman Dunya dalam kata pengantarnya
untuk buku Tahafut al-Tahafut mencantumkan karya Ibn Rusyd hanya
sebanyak sekitar 47 judul. Akan tetapi di antara karya yang dicantumkan
Sulaiman Dunya terdapat dua judul buku yang dikatakan Muhammad Yusuf Musa
sebagai bukan karya Ibn Rusyd, melainkan karya kakeknya, yakni Kitab al-Tahsil
dan Kitab Al-Muqaddimat fi Al-Fiqh. Lihat Sulaiman Dunya, “Ibn Rusyd”
dalam Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1974), Cet.
IV, p. 11-14
[3] Fakhry, Majid, A History of Islamic
Philosophy, p. 273.
[4] Taufiq Thawil. Mu’allafat Ibn Rusyd,
[5] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah,
edisi Jirar Jihami, (Libanon: dar al-Fikr al-Lubnani, 1993), Cet. I, p. 31.
Ungkapan al-Ghazali selengkapnya: “Tsumma al-mutarjimun li kalam Aristatalis
lam yanfakku kalamuhum min tahrif wa tabdil muhwaj ila tafsir wa ta’wil, hatta
aatsara zalika aidhan niza’an bainahum. Wa uqawwimuhum bi al-naqli wa al-tahqiq
min al-mutafalsifah fi al-Islam; Abu Nasr Al-Farabi wa Ibn Sina”.
[6] Dunya, Sulaiman, “Muqaddimah” dalam Ibn
Rusyd, Tahafut al-Tahafut, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964) Cet. I, p. 16-17.