Selasa, 23 April 2013

Karya Intelektual Ibn Rusyd


Ibn Rusyd merupakan salah seorang filsuf muslim terbesar di Barat, karena pada masanya, filsafat Islam mencapai puncaknya. Ia termasuk tokoh pemikir yang sangat produktif, meliputi pelbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, teologi, fikih, falak, kedokteran, nahwu dan lainnya. Hanya, sangat disayangkan, banyak karyanya yang ditak berhasil ditemukan lagi. Terutama, ketika ia diterpa fitnah di akhir masa hidupnya, di mana penguasa karena dorongan kaum agamawan – para fuqaha dan mutakallimin – memusuhinya, karena pergumulannya dengan filsafat.

Secara umum, karya Ibn Rusyd dapat dikelompokkan menjadi; karya asli, ulasan panjang (syuruh kubra) atau tafsirat, ulasan sedang (syuruh wusta) atau jawami’, dan ulasan pendek (syuruh sughra) atau talkhisat. Selain karya aslinya, karya ulasan itu sebagian besar dilakukan terhadap karya Aristoteles. Pada tafsir dan syarh, Ibn Rusyd terlebih dahulu menampilkan teks yang dinyatakan oleh Aristoteles secara literal, paragraf demi paragraf dari terjemahan yang diterimanya, lalu menginterpretasikan dan mengulasnya. Usaha tersebut diilhami oleh para mufassir. Sedangkan pada talkhish, Ibn Rusyd hanya meringkas dan menampilkan pokok-pokok pikiran Aristoteles tanpa menyertakan teksnya. Ia tidak mengemukakan pandangan dialektik melainkan cukup menampilkan pandangan ilmiah saja. Oleh karena itu, ada yang memasukkan, bahwa tipe talkhis tersebut sebagai karya murni Ibn Rusyd.[1]

Sedangkan karya aslinya merupakan tulisan yang dibuatnya sendiri, meski saat ini sulit diketahui secara pasti jumlahnya. Meski demikian, Renan, berhasil mengelompokkannya dalam bukunya Ibn Rusyd wa al-Rusydiyah, karya Ibn Rusyd sesuai dengan bidangnya. Filsafat sebanyak 39, ilmu kalam sebanyak 5, fikih sebanyak 8, ilmu falak sebanyak 4, nahwu sebanyak 2, ilmu kedokteran sebanyak 20.[2]

Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd menuliskan pokok-pokok pemikirannya dalam trilogi karya monumentalnya; yakni Fasl al-Maqal, Manahij al-Adillah dan Tahafut al-Tahafut. Ketiga-tiganya dipandang sebagai karya Ibn Rusyd yang menampilkan masalah kefilsafatan bernuansa ketuhanan, sehingga ada yang menilai bahwa masalah-masalah yang dibahas itu bercorak teologis-filosofis.[3] Ketiga buku itu mempunyai karakteristik masing-masing, baik dalam metode dan sitematika penyajiannya. Berikut ini, penulis uraikan secara ringkas ketiga buku tersebut:

a.            Fasl al-Maqal
Judul lengkap buku tersebut adalah Fasl al-Maqal fi Taqrir Ma Baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittisal (Kata Pembeda/Distingsi Mengenai Hubungan antara Filsafat dan Syari’at). Dilihat dari jumlah halamannya, buku ini paling tipis di antara ketiga buku tersebut. Ada yang menyebutkan, bahwa buku ini sebagai pengantar untuk buku Tahafut al-Tahafut, sebagai Ghazali yang menulis buku Maqasid al-Falasifah sebelum menulis Tahafut al-Falasifah.
Meski tipis, buku ini memuat banyak hal terutama mengenai pokok-pokok yang berkaitan dengan filsafat dan agama. Beberapa edisi terbitan Dar al-Afaq al-Jadidah Beirut dan Mahmud Ali Shabih Mesir tidak membuat judul untuk sub-sub bab bahasan dalam buku tersebut. Sedangkan Muhammad Imarah dalam catatan edisinya membuat sub bab buku tersebut, yang terdiri dari 15 poin, dimulai dengan hukum mempelajari filsafat dan pentingnya penggunaan nalar, dan diakhiri dengan metode pengajaran syari’at.

Buku Fasl Maqal ini, dapat dikatakan sebagai rambu-rambu kerangka umum pemikiran yang dicanangkan Ibn Rusyd bagi orang yang hendak mempelajari filsafat dan agama, mempelajari filsafat dengan pendekatan agama, atau mempelajari agama dengan pendekatan filsafat. Hal itu didasarkan pada pendirian Ibn Rusyd, bahwa keduanya tidak bertentangan, bahkan dapat berdampingan secara harmonis, saling menguatkan dalam sinergi ilmiah yang integral.

b.            Manahij Al-Adillah
Sebenarnya buku ini mempunyai judul lengkap Al-Kasyf an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah. Buku sering disebut dengan Manahij al-Adillah atau Al-Kasyf saja. Buku ini ditulis Ibn Rusyd pada saat menjadi qadi di Seville untuk masa jabatan kedua, tahun 1179-1180. Buku ini menyajikan masalah teologis dengan pendekatan filsafat. Al-Kasyf ini terdiri dari 5 pasal yang masing-masing membahas suatu tema ketuhanan.

Secara ringkas, pembahasan dalam buku ini adalah; Pertama, menyajikan tema pembuktian tentang wujud Allah. Pada pasal ini Ibn Rusyd memaparkan suatu argumentasi yang disebutnya dalil al-‘inayah dan dalil al-ikhtira’ Kedua, menyajikan pembahasan tentang keesaan Allah, dengan menampilkan argumentasi Asy’ariyah. Ketiga, menyajikan pembahasan tentang sifat-sifat Allah. Keempat, menyajikan pembahasan tentang tanzih, bahwa Allah terhindar dari unsur fisikal dan keserupaan dengan makhluk. Kelima, membahas tentang Af’al Allah, dalam pasal ini terdapat pembahasan tentang keadilan ilahi dan eskatologi.

c.             Tahafut al-Tahafut
Buku ini ditulis oleh Ibn Rusyd dalam rangka menanggapi serangan Al-Ghazali melalui bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Dalam buku Tahafut al-Tahafut ini, Ibn Rusyd hendak merekonstruksi pelbagai pandangan filsafat sejati, sebagaimana yang ia temukan dalam karya dan pemikiran Aristoteles, dan berusaha menolak kesalahan yang dibawa oleh para filsuf Platonik yang dianggapnya merusak pemikiran Aristoteles. Lebih jauh, Ibn Rusyd melibat bahwa apa yang disebut Al-Ghazali, dalam Tahafut Al-Falasifah, bukanlah semua filsuf, melainkan filsuf yang berpikiran Neo-Platonik, meski Al-Ghazali memandang bahwa semua filsuf mulai dari Aristoteles sampai Ibn Sina adalah sama. Di sinilah, Ibn Rusyd melihat bahwa justru pandangan Al-Ghazali yang dituangkan dalam buku Tahafut al-Falasifah itu yang rancu.[4]

Ibn Rusyd menyajikan dalam buku ini dengan membahasnya hamper setiap kajian Ibn Rusyd didahului dengan pengutipan masalah yang ditulis oleh Al-Ghazali pada umumnya ditandai dengan kalimat qala Abu Hamid (Al-Ghazali mengatakan), dan tanggapan Ibn Rusyd pada umumnya ditandai dengan kalimat qultu (saya mengatakan).
Dari 20 pokok persoalan yang dikemukakan Al-Ghazali itu dikaji poin per poin oleh Ibn Rusyd. Berdasarkan penomoran yang ditulis oleh Sulaiman Dunya dalam edisinya, terdapat tidak kurang dari 221 masalah dalam buku Tahafut al-Falasifah yang ditinjau oleh Ibn Rusyd. Ternyata, tidak semua masalah yang dibahas oleh Al-Ghazali disanggah oleh Ibn Rusyd, melainkan ada beberapa di antara penilaian atau penolakan Al-Ghazali yang dibenarkan oleh Ibn Rusyd. Hal ini menunjukkan bahwa buku Tahafut al-Tahafut tidak semua pembahasannya merupakan penolakan terhadap tulisan Al-Ghazali, meski diakui bahwa sebagian besar merupakan tinjauan kritis Ibn Rusyd terhadap pandangan Al-Ghazali.

Yang menarik, Jika ditelisik dari segi penamaan masing-masing buku tersebut, dapat dikemukakan bahwa Al-Ghazali menamai bukunya dengan Tahafut al-Falasifah, yang berarti kerancuan berpikir para filsuf, karena ia melihat banyak pemikiran para filsuf yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Al-Ghazali mengomentari dalam masalah metafisika, karena banyaknya masalah yang dikupas para filsuf itu yang salah dan sedikit yang benar. Sementara dalam masalah fisika, di dalamnya tercampur antara yang benar dan yang salah, maka tidak mungkin mengambil ketetapan berdasarkan pandangan umum saja. Al-Ghazali mengkritik para filsuf karena kelemahan argumen mereka dalam 17 persoalan dan karena pertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sebanyak 3 masalah pokok.

Berbeda dengan Al-Ghazali dalam menamakan bukunya, Ibn Rusyd mengambil nama dari judul buku Al-Ghazali, Tahafut al-Tahafut (Kerancuan buku yang ditulis Al-Ghazali bernama Tahafut al-Falasifah). Selanjutnya, jika dibandingkan dengan cara penyajian masalah, Al-Ghazali – sebagaimana pernyataannya dalam pendahuluan bukunya – didasarkan pada apa yang ia temukan pada karya dua filsuf muslim; Al-Farabi dan Ibn Sina. Hal ini karena menurut Al-Ghazali keduanya merupakan orang yang paling condong ke pemikiran Aristoteles. Jadi yang dimaksud dengan kata “alfalasifah” adalah Al-Farabi dan Ibn Sina.[5]

Karena itulah Ibn Rusyd menilai Al-Ghazali unfair dengan menyebut kerancuan atau inkonsistensi para filsuf, padahal informasi yang ia peroleh hanya berasal dari sumber sekunder, tanpa berusaha melacak dari sumber primer langsung sebagai objek yang dikritiknya, yakni Aristoteles. Selanjutnya, jika Al-Ghazali mengakui bahwa Al-Farabi dan Ibn Sina bagian dari para filsuf, mengapa ia melakukan generalisasi dengan menyebut alfalasifah, dan tidak menyebut sebagian atau alfailasufani saja.

Sementara itu, Ibn Rusyd tampak lebih hati-hati dalam menamakan judul bukunya. Ia tahu bahwa Al-Ghazali, seorang ulama dan pemikir terkemuka yang memiliki banyak karya. Karena yang ia kritik hanya satu bukunya berjudul Tahafut al-Falasifah saja, maka ia tidak ingin menggunakan kata Tahafut al-Ghazali (Kerancuan Al-Ghazali) untuk menamakan judul bukunya sebagai kritik, seperti Al-Ghazali yang menggunakan kata-kata “Kerancuan Para Filsuf” melainkan ia memilih judul Tahafut kitab al-Ghazali al-Musamma bi Tahafut al-Falasifah, yang disingkat dengan Tahafut al-Tahafut.[6]
Yang menarik, terdapat titik persamaan antara dua tokoh ini, jika Al-Ghazali menulis Maqashid al-Falasifah sebelum menulis Tahafut al-Falasifah, Ibn Rusyd juga menulis buku Fashl al-Maqal sebelum menulis Tahafut al-Tahafut, sehingga merupakan pengantar sebelum keduanya menulis buku Tahafut tersebut.




[1] Al-Iraqi, Athif, Al-Naz’ah al-‘Aqliyyah, p. 42-43
[2] Selengkapnya, lihat Renan dalam Ibn Rusyd wa al-Rusydiyah, 80-93. Sementara itu Sulaman Dunya dalam kata pengantarnya untuk buku Tahafut al-Tahafut mencantumkan karya Ibn Rusyd hanya sebanyak sekitar 47 judul. Akan tetapi di antara karya yang dicantumkan Sulaiman Dunya terdapat dua judul buku yang dikatakan Muhammad Yusuf Musa sebagai bukan karya Ibn Rusyd, melainkan karya kakeknya, yakni Kitab al-Tahsil dan Kitab Al-Muqaddimat fi Al-Fiqh. Lihat Sulaiman Dunya, “Ibn Rusyd” dalam Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1974), Cet. IV, p. 11-14
[3] Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, p. 273.
[4] Taufiq Thawil. Mu’allafat Ibn Rusyd,
[5] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, edisi Jirar Jihami, (Libanon: dar al-Fikr al-Lubnani, 1993), Cet. I, p. 31. Ungkapan al-Ghazali selengkapnya: “Tsumma al-mutarjimun li kalam Aristatalis lam yanfakku kalamuhum min tahrif wa tabdil muhwaj ila tafsir wa ta’wil, hatta aatsara zalika aidhan niza’an bainahum. Wa uqawwimuhum bi al-naqli wa al-tahqiq min al-mutafalsifah fi al-Islam; Abu Nasr Al-Farabi wa Ibn Sina”.
[6] Dunya, Sulaiman, “Muqaddimah” dalam Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964) Cet. I, p. 16-17.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...