Selasa, 23 April 2013

Ketegori Ilmu Dalam Islam

Ketidakterbatasan ilmu, kemuliaan tanggungjawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup seseorang manusia merupakan tiga realitas yang dipelajari umat Islam dari al-Qur’an, yang secara alami selalu merangsang sarjana-sarjana Muslim untuk mengklasifikasikan atau mengkategorikan ilmu. Hasrat untuk mencapai ketepatan dan keteraturan merupakan watak tradisi intelektual Islam, sebagaimana yang dahulu juga terjadi pada sarjana-sarjana Yunani, khususnya Aristoteles, yang banyak mempengaruhi tradisi intelektual Islam. Namun, berbeda dengan orang Yunani yang tidak memiliki tradisi ilmu yang diwahyukan, dan karenanya, tidak perlu melibatkan kategori ilmu Allah SWT. Dengan melibatkan ilmu yang diambil dari wahyu, umat Islam tampak lebih komprehensif dalam mengkategorikan ilmu dengan memasukkan kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut meskipun lebih banyak menjabarkan ilmu wahyu dari ilmu akli.
Meskipun dengan sedikit perbedaan di sana-sini, para sarjana Muslim pada umumnya membagi ilmu dalam dua kategori: abadi (qadÊm) dan baru (ÍÉdith). Ilmu yang abadi ditetapkan oleh Dzat Allah SWT dan berbeda dengan ilmu pengetahuan yang dicipta manusia. Ilmu pengetahuan yang baru terdiri dari tiga kategori, yaitu yang terbukti dengan sendirinya (badÊhÊ, self-evident), primer (ÌarËri, necessary), dan demonstratif (IstidlÉlÊ).[1] Klasifikasi yang diberikan oleh Al-BaghdÉdi, misalnya, juga hampir sama dengan ini, yaitu ilmu pengetahuan itu terbagi dua: (a) Ilmu Allah SWT yang mutlak; dan (b) ilmu pengetahuan haiwani yang terdiri dari ilmu pengetahuan natural, primer, dan sekunder, yaitu ilmu pengetahuan yang dicari (muktasab). Ilmu pengetahuan yang bersifat natural selanjutnya dibagi dalam ilmu pengetahuan langsung dan inderawi. Yang pertama terdiri dari dua jenis: ilmu pengetahuan positif, seperti kesedaran tentang diri sendiri dan kesedaran tentang perasaan sakit, senang, dan lapar; dan ilmu pengetahuan negatif, seperti yang mustahil itu adalah mustahil, bahwa sesuatu atau seseorang itu tidak kekal dan temporal atau mati dan hidup ketika yang bersamaan, sedangkan ilmu pengetahuan inderawi adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui indera.[2]
Islam menegaskan bahwa semua ilmu datang dari Allah SWT. Klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah diberikan oleh para ahli filsafat, pakar,[3] dan orang bijaksana, khususnya para ahli Sufi dapat diterima.[4] Pada hakikatnya terdapat kesatuan di sebalik hirarki semua ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan pendidikan seorang Muslim.
Ilmu dapat dikategorikan berdasarkan keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang ditempuh mereka untuk memperolehnya dan pengkategorian tertentu itu melambangkan usaha manusia untuk melakukan keadilan terhadap setiap bidang ilmu pengetahuan.[5] Secara umum ilmu dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu ilmu iluminasi (ma‘rifah) dan ilmu sains. Dalam bahasa Melayu yang pertama disebut dengan ilmu pengenalan dan yang kedua disebut ilmu pengetahuan.[6] Ilmu iluminasi hanya terjadi pada makhluk hidup. Ilmu ini melibatkan orang yang ingin mengetahui (knower) dan sesuatu yang hendak diketahui (known) melalui perkataan ataupun cara-cara lain yang dapat difahami dengan jelas, setelah terlebih dahulu terjalin rasa saling mengenal dan mempercayai di antara subjek yang mahu mengetahui dan objek yang ingin diketahui: yakni objek itu mau difahami dan ingin berbagi rahasia dan kondisi dirinya. Jika benar-benar ingin mendekatkan diri pada objek ilmunya, orang yang ingin mengetahui itu (yakni subjek) haruslah terlebih dahulu mengenal dan mengakui objeknya itu dengan cara yang tepat, sesuai dengan kepribadian dan tingkat yang ingin diketahuinya.
Perbedaan ini dapat diterangkan dengan analogi seperti yang terdapat dalam kehidupan bertetangga. Pada tingkat ilmu yang pertama, seseorang dapat dikatakan telah mengetahui tetangganya dengan cara memperhatikan kebiasaan dan perbuatannya, dan dengan mencari beberapa maklumat yang diperlukan tentang tetangganya dari sumber-sumber lain. Meskipun demikian, orang itu sebenarnya belum dapat mengakui bahwa ia benar-benar mengetahui tetangganya sedalam ilmu pada tingkat kedua, yaitu ilmu yang hanya mungkin terjadi setelah adanya interaksi langsung dalam beberapa periode yang melibatkan pengalaman dan rasa kepercayaan di antara keduanya. Setelah itulah, baru tetangganya mengungkapkan perasaan yang sebenarnya tentang masalah-masalah yang disenanginya dan rahasianya yang lain.[7] Dalam konteks yang sama, ilmu seseorang tentang Allah SWT pada tingkat ma‘rifah adalah pemberian Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang beribadah dengan tulus dan berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar.[8]
Ilmu iluminasi (ma‘rifah) adalah makanan bagi jiwa manusia. Dalam konteks Nabi Muhammad saw, ilmu ini diberikan Allah SWT secara langsung kepada baginda dalam bentuk al-Qur’an, yang kemudian difahami dan diamalkan sebagai Sunnah. Dalam perspektif hukum, al-Qur’an dan Sunnah ini disebut dengan syariat, sedangkan dalam perspektif spiritual disebut dengan ilmu laduni (‘ilm ladunnÊ) dan hikmah. Dengan demikian, ilmu iluminasi Nabi ini dikategorikan sebagai ilmu tertinggi dan selalu menjadi rujukan dan pedoman dalam semua formulasi ilmiah dan aktivitas umat.[9]
Hikmah juga dapat dianggap sebagai kombinasi dari dua jenis ilmu, yaitu iluminasi dan sains.[10] Pandangan ini mungkin disebabkan oleh keberadaan al-Qur’an, Sunnah, dan syariat yang merupakan hak mutlak Nabi, yang telah sempurna dengan kewafatan baginda, sementara iluminasi dan sains masih terbuka untuk peningkatan yang seterusnya, dan dapat dicapai oleh mereka yang tulus dan berkecekapan untuk meraihnya.[11] Hikmah diberikan Allah SWT kepada manusia melalui kasyÉf atau intuisi (ilham) atau pengalaman spiritual yang memungkinkan pemiliknya mengetahui batas kegunaan dan batasan makna yang terdapat dalam berbagai  persoalan dan ilmu pengetahuan yang ditekuninya, yang memungkinkannya bertindak dengan adil.[12]
Pengenalan tentang Allah SWT adalah keutamaan dalam beragama yang juga berasal dari hikmah. Hikmah, secara teoretis maupun praktis, adalah pemberian Allah SWT, adalah juga keutamaan agama, yang tidak dapat diketahui melalui akal yang tidak dilengkapi wahyu.[13] Para ahli sufi, teolog, dan ulama, menolak anggapan yang mengatakan bahwa akal, tanpa bimbingan wahyu, dapat mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan realitas murni sebagaimana yang diyakini oleh orang penganut Mu‘tazilah dan ahli filsafat Muslim, seperti Ibn SÊnÉ dan Ibn Tufayl, dan kalangan Muslim modernis, seperti Sayyid Ahmad Khan dan Isma’il Al-Faruqi.[14] Cerita tentang ×ayy ibn YaqÐÉn yang dibuat sedemikian rupa sebagai orang yang dapat menemukan kebenaran etika dan agama melalui akal dan pengalaman yang bebas dari wahyu kenabian sebenarnya hanya sebuah rekaan. Mengapa mereka dapat sampai pada kesimpulan ini? Jawabannya adalah karena mereka, sebelum membuat kesimpulan begitu, sudah terlebih dahulu Muslim dan secara tidak disadari telah dipengaruhi oleh persekitaran Islam mereka![15]
Contoh perjalanan spiritual Nabi Ibrahim a.s. dalam mencari Allah Swt., sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, adalah bukti yang sangat kuat bahwa akal yang lepas dari bimbingan wahyu memiliki kemampuan yang sangat terbatas:
“Dan demikianlah Kami telah memperlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami yang terdapat di langit dan di bumi supaya dia termasuk di antara orang yang yakin. Ketika diselimuti malam, dia melihat sebuah bintang dan berkata, “Inilah Tuhanku.” Namun, tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, “Aku tidak suka pada yang tenggelam.” Ketika melihat bulan terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Namun, ketika bulan itu tenggelam, dia berkata, “Sesungguhnya, jika Tuhanku tidak memberiku petunjuk, pastilah aku termasuk orang yang sesat.”[16]

Walaupun demikian, perlu dijelaskan bahwa hikmah itu terdiri dari beberapa tingkat, mulai tingkat teoretis tertinggi hingga tingkat praktis yang terendah. Allah SWT memberikan hikmah kepada siapa saja yang disukaiNya, baik Muslim maupun non-Muslim, seperti orang bijaksana dari Cina, Hindu, dan para ahli filsafat Yunani. Namun, tanpa bimbingan wahyu kenabian, hasil perenungan mereka tentang realitas akhlak, spiritual, dan nilai luhur merupakan sesuatu yang tidak lengkap atau tidak pasti. Beberapa nilai etika global dan kebenaran spiritual yang disampaikan oleh para ahli filsafat dan orang bijaksana ini, tidak mungkin diperoleh dari akal semata-mata, tetapi dari wahyu kenabian yang pada zaman itu “sedang mengudara”.[17] Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama, yaitu iluminasi (ma‘rifah), yang dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan fardu ‘ain, dapat dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam.
Ilmu dalam kategori kedua berkaitan dengan fisik dan objek-objek yang berhubungan dengannya, yang dapat dicapai melalui penggunaan daya intelektual dan jasmaniah. Ilmu pengetahuan ini bersifat tanpa pola dan pencapaiannya menempuh jalan yang bertingkat-tingkat. Ilmu—sebagai sifat Allah SWT. Yang Mahaqadim—adalah tidak terbatas. Namun, karena alam, kapasiti, jangka hidup, dan keperluan manusia itu terbatas, ia harus membatasi dirinya dalam mencari ilmu pengetahuan. Adalah sukar dan mustahil bagi seseorang untuk memperoleh semua ilmu. Namun, umat Islam perlu mengatur sistem pendidikan mereka sehingga mereka dapat mempelajari, mengembangkan, dan menerapkan semua ilmu yang diperlukan untuk mengangkat dan menyebarkan nilai luhur dan ajaran Islam serta semua ilmu yang dapat memperkuat ajaran agama ini di dunia. Atas dasar inilah, pencapaian ilmu pengetahuan dalam kategori kedua ini dianggap sebagai fardu kifayah, yaitu, ilmu pengetahuan yang wajib diketahui oleh beberapa orang saja yang ada dalam masyarakat itu.
Hubungan antara kedua kategori ilmu ini—yakni fardu ‘ain dan fardu kifayah—sangat jelas. Yang pertama menyingkap rahasia Wujud dan Kewujudan, menerangkan dengan sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dengan Tuhan, dan menjelaskan maksud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus membimbing yang kedua. Jika tidak, ilmu pengetahuan kedua ini akan membingungkan manusia dan secara terus-menerus menjebak mereka dalam suasana pencarian tujuan dan makna kehidupan. Mereka yang dengan sengaja memilih cabang tertentu dari ilmu kategori kedua dalam usaha meningkatkan kualitas diri dan masyarakat mereka harus dibimbing oleh pengetahuan yang benar dari kategori pertama.[18]




[1] Al-SyarÊf ‘AlÊ ibn MuÍammad Al-JurjÉnÊ, KitÉb Al-Ta‘rÊfÉt (t.p.: t.p., t.t.), hlm. 155, entri ‘ilm.
[2] Disimpulkan oleh Wensinck, The Muslim Creed, hlm. 252–253. Klasifikasi dan keterangan Ibn ‘Abd Al-Barr (w. 103718) sama dengan yang diberikan oleh Al-BÉqillÉnÊ dan Al-BaghdÉdÊ, kecuali dalam hal ketika Ibn ‘Abd Al-Barr tidak memakai beberapa istilah, seperti “hewan” atau “natural”. YËsuf Ibn ‘Abd Al-Barr, JÉmi‘ BayÉn al-‘Ilm, diedit Abd Hadi Mudir dan Mustafa Ibrahim. 2 jld (Kaherah: IdÉrah al-TabÉ‘ah al-MunÊrah, tanpa tahun) 2: 36–37. Kesimpulan terhadap Klasifikasi Al-BÉqillÉnÊ, lihat Rosenthal, Knowledge Triumphant, hlm. 216–217. Pembahasan tentang klasifikasi ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam di kalangan umat Islam hingga  zaman Ibn KhaldËn, lihat Chejne, Ibn Hazm, Bab 4 & 5.
[3] Dalam CEII, hlm. 44, catatan kaki no. 47, Al-Attas mengakui kebenaran klasifikasi yang diberikan oleh Al-Kindi, Al-FÉrÉbÊ, IkhwÉn Al-ØafÉ’, Ibn SÊnÉ, Al-GhazÉli, Ibn Rusyd, dan Ibn KhaldËn.
[4] IS, hlm. 138; CEII, hlm.17; dalam PAT, hlm. 5, Al-Attas mengatakan bahwa “Menurut para sufi, khususnya, dan semua umat Islam, umumnya, ilmu pengetahuan datang dari Tuhan. Namun, para sufi mengetahui bahwa cara sampainya ilmu kepada seseorang, daya (fakultas), dan indera yang dapat menerima dan memahami ilmu tersebut berbeda antara satu sama lain.”
[5] IS, hlm. 140–141.
[6] Risalah, para. 18, hlm. 70–71.
[7] IS, hlm. 75–76.
[8] Risalah, para. 17, hlm. 65–68.
[9] IS, hlm. 138–139; bdk. Risalah, para. 17, hlm. 68.
[10] Risalah, para. 17, hlm. 65.
[11] IS, hlm. 139.
[12] Risalah, para. 17, hlm. 68; para. 18, hlm. 70–71; juga IS, hlm. 139; dan Commentary, hlm.134–135.
[13] Happiness, hlm. 9.
[14] Ismail R. Al-Faruqi, “Science and Traditional Values”, dalam Science and the Human Condition in India and Pakistan, diedit Ward Morehouse (New York: Rockefeller University, 1968) hlm.18–19.
[15] Maksudnya: pada saat itu, umat Islam berada di puncak sejarah dan pandangan serta sikap hidup Islam sudah begitu akrab dalam kehidupan mereka. Jadi, ketika mereka mengatakan bahwa akal dapat mencapai Tuhan, akal yang difahami mereka di sini adalah akal yang dimiliki mereka, yang terbiasa dengan pandangan serta sikap hidup Islam. Mereka berbicara sebagai seorang Islam. Sama juga jika seorang ahli tasawwuf menyatakan bahwa dia menemui Tuhan di gereja Kristen, kuil Hindu atau masjid, dia tidak bermaksud bahwa semua agama yang diwakili oleh institusi tersebut sama wibawa dan derajat kebenarannya. Dia sekedar bermaksud, sebagai seorang Islam yang faham, Tuhan itu senantiasa hadir, di manapun anda berada.
[16] QS Al-An’Ém (6): 75–77.
[17] Bdk. Happiness, hlm. 9; dan diskusi pribadi dengan Al-Attas pada 20 Juli 1992.
[18] IS, hlm.140–141.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...