Ketidakterbatasan
ilmu, kemuliaan tanggungjawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup
seseorang manusia merupakan tiga realitas yang dipelajari umat Islam dari
al-Qur’an, yang secara alami selalu merangsang sarjana-sarjana Muslim untuk
mengklasifikasikan atau mengkategorikan ilmu. Hasrat untuk mencapai ketepatan
dan keteraturan merupakan watak tradisi intelektual Islam, sebagaimana yang
dahulu juga terjadi pada sarjana-sarjana Yunani, khususnya Aristoteles, yang
banyak mempengaruhi tradisi intelektual Islam. Namun, berbeda dengan orang
Yunani yang tidak memiliki tradisi ilmu yang diwahyukan, dan karenanya, tidak
perlu melibatkan kategori ilmu Allah SWT. Dengan melibatkan ilmu yang
diambil dari wahyu, umat Islam tampak lebih komprehensif dalam mengkategorikan
ilmu dengan memasukkan kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut meskipun lebih
banyak menjabarkan ilmu wahyu dari ilmu akli.
Meskipun dengan
sedikit perbedaan di sana-sini, para sarjana Muslim pada umumnya membagi ilmu
dalam dua kategori: abadi (qadÊm) dan baru (ÍÉdith). Ilmu yang
abadi ditetapkan oleh Dzat Allah SWT dan berbeda dengan ilmu pengetahuan yang
dicipta manusia. Ilmu pengetahuan yang baru terdiri dari tiga kategori, yaitu
yang terbukti dengan sendirinya (badÊhÊ, self-evident), primer (ÌarËri,
necessary), dan demonstratif (IstidlÉlÊ).[1]
Klasifikasi yang diberikan oleh Al-BaghdÉdi, misalnya, juga hampir sama dengan
ini, yaitu ilmu pengetahuan itu terbagi dua: (a) Ilmu Allah SWT yang mutlak;
dan (b) ilmu pengetahuan haiwani yang terdiri dari ilmu pengetahuan natural,
primer, dan sekunder, yaitu ilmu pengetahuan yang dicari (muktasab).
Ilmu pengetahuan yang bersifat natural selanjutnya dibagi dalam ilmu
pengetahuan langsung dan inderawi. Yang pertama terdiri dari dua jenis: ilmu
pengetahuan positif, seperti kesedaran tentang diri sendiri dan kesedaran
tentang perasaan sakit, senang, dan lapar; dan ilmu pengetahuan negatif,
seperti yang mustahil itu adalah mustahil, bahwa sesuatu atau seseorang itu
tidak kekal dan temporal atau mati dan hidup ketika yang bersamaan, sedangkan
ilmu pengetahuan inderawi adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui
indera.[2]
Islam menegaskan
bahwa semua ilmu datang dari Allah SWT. Klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah
diberikan oleh para ahli filsafat, pakar,[3]
dan orang bijaksana, khususnya para ahli Sufi dapat diterima.[4]
Pada hakikatnya terdapat kesatuan di sebalik hirarki semua ilmu pengetahuan
dalam kaitannya dengan pendidikan seorang Muslim.
Ilmu dapat
dikategorikan berdasarkan keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang ditempuh
mereka untuk memperolehnya dan pengkategorian tertentu itu melambangkan usaha
manusia untuk melakukan keadilan terhadap setiap bidang ilmu pengetahuan.[5]
Secara umum ilmu dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu ilmu iluminasi (ma‘rifah)
dan ilmu sains. Dalam bahasa Melayu yang pertama disebut dengan ilmu pengenalan
dan yang kedua disebut ilmu pengetahuan.[6]
Ilmu iluminasi hanya terjadi pada makhluk hidup. Ilmu ini melibatkan orang yang
ingin mengetahui (knower) dan sesuatu yang hendak diketahui (known)
melalui perkataan ataupun cara-cara lain yang dapat difahami dengan jelas,
setelah terlebih dahulu terjalin rasa saling mengenal dan mempercayai di antara
subjek yang mahu mengetahui dan objek yang ingin diketahui: yakni objek itu mau
difahami dan ingin berbagi rahasia dan kondisi dirinya. Jika benar-benar ingin
mendekatkan diri pada objek ilmunya, orang yang ingin mengetahui itu (yakni
subjek) haruslah terlebih dahulu mengenal dan mengakui objeknya itu dengan cara
yang tepat, sesuai dengan kepribadian dan tingkat yang ingin diketahuinya.
Perbedaan ini dapat
diterangkan dengan analogi seperti yang terdapat dalam kehidupan bertetangga.
Pada tingkat ilmu yang pertama, seseorang dapat dikatakan telah mengetahui
tetangganya dengan cara memperhatikan kebiasaan dan perbuatannya, dan dengan
mencari beberapa maklumat yang diperlukan tentang tetangganya dari
sumber-sumber lain. Meskipun demikian, orang itu sebenarnya belum dapat
mengakui bahwa ia benar-benar mengetahui tetangganya sedalam ilmu pada tingkat kedua,
yaitu ilmu yang hanya mungkin terjadi setelah adanya interaksi langsung dalam
beberapa periode yang melibatkan pengalaman dan rasa kepercayaan di antara
keduanya. Setelah itulah, baru tetangganya mengungkapkan perasaan yang
sebenarnya tentang masalah-masalah yang disenanginya dan rahasianya yang lain.[7]
Dalam konteks yang sama, ilmu seseorang tentang Allah SWT pada tingkat ma‘rifah
adalah pemberian Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang beribadah dengan tulus
dan berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar.[8]
Ilmu iluminasi (ma‘rifah)
adalah makanan bagi jiwa manusia. Dalam konteks Nabi Muhammad saw, ilmu ini
diberikan Allah SWT secara langsung kepada baginda dalam bentuk al-Qur’an, yang
kemudian difahami dan diamalkan sebagai Sunnah. Dalam perspektif hukum, al-Qur’an
dan Sunnah ini disebut dengan syariat, sedangkan dalam perspektif spiritual
disebut dengan ilmu laduni (‘ilm ladunnÊ) dan hikmah. Dengan demikian,
ilmu iluminasi Nabi ini dikategorikan sebagai ilmu tertinggi dan selalu menjadi
rujukan dan pedoman dalam semua formulasi ilmiah dan aktivitas umat.[9]
Hikmah juga dapat
dianggap sebagai kombinasi dari dua jenis ilmu, yaitu iluminasi dan sains.[10]
Pandangan ini mungkin disebabkan oleh keberadaan al-Qur’an, Sunnah, dan syariat
yang merupakan hak mutlak Nabi, yang telah sempurna dengan kewafatan baginda,
sementara iluminasi dan sains masih terbuka untuk peningkatan yang seterusnya,
dan dapat dicapai oleh mereka yang tulus dan berkecekapan untuk meraihnya.[11]
Hikmah diberikan Allah SWT kepada manusia melalui kasyÉf atau intuisi
(ilham) atau pengalaman spiritual yang memungkinkan pemiliknya mengetahui batas
kegunaan dan batasan makna yang terdapat dalam berbagai persoalan dan ilmu pengetahuan yang
ditekuninya, yang memungkinkannya bertindak dengan adil.[12]
Pengenalan tentang
Allah SWT adalah keutamaan dalam beragama yang juga berasal dari hikmah.
Hikmah, secara teoretis maupun praktis, adalah pemberian Allah SWT, adalah juga
keutamaan agama, yang tidak dapat diketahui melalui akal yang tidak dilengkapi
wahyu.[13]
Para ahli sufi, teolog, dan ulama, menolak anggapan yang mengatakan bahwa akal,
tanpa bimbingan wahyu, dapat mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan
realitas murni sebagaimana yang diyakini oleh orang penganut Mu‘tazilah dan
ahli filsafat Muslim, seperti Ibn SÊnÉ dan Ibn Tufayl, dan kalangan Muslim
modernis, seperti Sayyid Ahmad Khan dan Isma’il Al-Faruqi.[14]
Cerita tentang ×ayy ibn YaqÐÉn yang dibuat sedemikian rupa sebagai orang yang
dapat menemukan kebenaran etika dan agama melalui akal dan pengalaman yang
bebas dari wahyu kenabian sebenarnya hanya sebuah rekaan. Mengapa mereka dapat
sampai pada kesimpulan ini? Jawabannya adalah karena mereka, sebelum membuat
kesimpulan begitu, sudah terlebih dahulu Muslim dan secara tidak disadari telah
dipengaruhi oleh persekitaran Islam mereka![15]
Contoh perjalanan
spiritual Nabi Ibrahim a.s. dalam mencari Allah Swt., sebagaimana disebutkan
dalam al-Qur’an, adalah bukti yang sangat kuat bahwa akal yang lepas dari
bimbingan wahyu memiliki kemampuan yang sangat terbatas:
“Dan demikianlah Kami telah
memperlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami yang terdapat di
langit dan di bumi supaya dia termasuk di antara orang yang yakin. Ketika
diselimuti malam, dia melihat sebuah bintang dan berkata, “Inilah Tuhanku.”
Namun, tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, “Aku tidak suka pada yang
tenggelam.” Ketika melihat bulan terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Namun,
ketika bulan itu tenggelam, dia berkata, “Sesungguhnya, jika Tuhanku tidak
memberiku petunjuk, pastilah aku termasuk orang yang sesat.”[16]
Walaupun demikian,
perlu dijelaskan bahwa hikmah itu terdiri dari beberapa tingkat, mulai tingkat
teoretis tertinggi hingga tingkat praktis yang terendah. Allah SWT memberikan
hikmah kepada siapa saja yang disukaiNya, baik Muslim maupun non-Muslim,
seperti orang bijaksana dari Cina, Hindu, dan para ahli filsafat Yunani. Namun,
tanpa bimbingan wahyu kenabian, hasil perenungan mereka tentang realitas
akhlak, spiritual, dan nilai luhur merupakan sesuatu yang tidak lengkap atau tidak
pasti. Beberapa nilai etika global dan kebenaran spiritual yang disampaikan
oleh para ahli filsafat dan orang bijaksana ini, tidak mungkin diperoleh dari
akal semata-mata, tetapi dari wahyu kenabian yang pada zaman itu “sedang
mengudara”.[17]
Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama, yaitu iluminasi (ma‘rifah),
yang dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan fardu ‘ain, dapat dan harus
dipelajari oleh setiap umat Islam.
Ilmu dalam kategori
kedua berkaitan dengan fisik dan objek-objek yang berhubungan dengannya, yang
dapat dicapai melalui penggunaan daya intelektual dan jasmaniah. Ilmu
pengetahuan ini bersifat tanpa pola dan pencapaiannya menempuh jalan yang
bertingkat-tingkat. Ilmu—sebagai sifat Allah SWT. Yang Mahaqadim—adalah tidak
terbatas. Namun, karena alam, kapasiti, jangka hidup, dan keperluan manusia itu
terbatas, ia harus membatasi dirinya dalam mencari ilmu pengetahuan. Adalah
sukar dan mustahil bagi seseorang untuk memperoleh semua ilmu. Namun, umat
Islam perlu mengatur sistem pendidikan mereka sehingga mereka dapat
mempelajari, mengembangkan, dan menerapkan semua ilmu yang diperlukan untuk
mengangkat dan menyebarkan nilai luhur dan ajaran Islam serta semua ilmu yang
dapat memperkuat ajaran agama ini di dunia. Atas dasar inilah, pencapaian ilmu
pengetahuan dalam kategori kedua ini dianggap sebagai fardu kifayah, yaitu,
ilmu pengetahuan yang wajib diketahui oleh beberapa orang saja yang ada dalam
masyarakat itu.
Hubungan antara kedua
kategori ilmu ini—yakni fardu ‘ain dan fardu kifayah—sangat jelas. Yang pertama
menyingkap rahasia Wujud dan Kewujudan, menerangkan dengan sebenar-benarnya
hubungan antara diri manusia dengan Tuhan, dan menjelaskan maksud dari
mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Konsekuensinya,
kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus membimbing yang kedua. Jika tidak,
ilmu pengetahuan kedua ini akan membingungkan manusia dan secara terus-menerus
menjebak mereka dalam suasana pencarian tujuan dan makna kehidupan. Mereka yang
dengan sengaja memilih cabang tertentu dari ilmu kategori kedua dalam usaha
meningkatkan kualitas diri dan masyarakat mereka harus dibimbing oleh
pengetahuan yang benar dari kategori pertama.[18]
[1] Al-SyarÊf ‘AlÊ ibn MuÍammad
Al-JurjÉnÊ, KitÉb Al-Ta‘rÊfÉt (t.p.: t.p., t.t.), hlm. 155, entri ‘ilm.
[2] Disimpulkan oleh Wensinck, The
Muslim Creed, hlm. 252–253. Klasifikasi dan keterangan Ibn ‘Abd Al-Barr
(w. 103718) sama dengan yang diberikan oleh Al-BÉqillÉnÊ dan Al-BaghdÉdÊ,
kecuali dalam hal ketika Ibn ‘Abd Al-Barr tidak memakai beberapa istilah, seperti
“hewan” atau “natural”. YËsuf Ibn ‘Abd Al-Barr, JÉmi‘ BayÉn al-‘Ilm,
diedit Abd Hadi Mudir dan Mustafa Ibrahim. 2 jld (Kaherah: IdÉrah al-TabÉ‘ah
al-MunÊrah, tanpa tahun) 2: 36 –37.
Kesimpulan terhadap Klasifikasi Al-BÉqillÉnÊ, lihat Rosenthal, Knowledge
Triumphant, hlm. 216–217. Pembahasan tentang klasifikasi ilmu pengetahuan
dalam perspektif Islam di kalangan umat Islam hingga zaman Ibn KhaldËn, lihat Chejne, Ibn Hazm,
Bab 4 & 5.
[3] Dalam CEII, hlm. 44,
catatan kaki no. 47, Al-Attas mengakui kebenaran klasifikasi yang diberikan
oleh Al-Kindi, Al-FÉrÉbÊ, IkhwÉn Al-ØafÉ’, Ibn SÊnÉ, Al-GhazÉli, Ibn Rusyd, dan
Ibn KhaldËn.
[4] IS, hlm. 138; CEII,
hlm.17; dalam PAT, hlm. 5, Al-Attas mengatakan bahwa “Menurut para sufi,
khususnya, dan semua umat Islam, umumnya, ilmu pengetahuan datang dari Tuhan.
Namun, para sufi mengetahui bahwa cara sampainya ilmu kepada seseorang, daya (fakultas),
dan indera yang dapat menerima dan memahami ilmu tersebut berbeda antara satu
sama lain.”
[5] IS, hlm. 140–141.
[6] Risalah, para. 18, hlm.
70–71.
[7] IS, hlm.
75–76.
[8] Risalah, para. 17, hlm.
65–68.
[9] IS, hlm. 138–139; bdk. Risalah,
para. 17, hlm. 68.
[10] Risalah, para. 17, hlm. 65.
[11] IS, hlm. 139.
[12] Risalah, para. 17, hlm. 68;
para. 18, hlm. 70–71; juga IS, hlm. 139; dan Commentary, hlm.134–135.
[13] Happiness, hlm. 9.
[14] Ismail R. Al-Faruqi, “Science and
Traditional Values”, dalam Science and the Human Condition in India and
Pakistan, diedit Ward Morehouse (New York: Rockefeller University, 1968)
hlm.18–19.
[15] Maksudnya: pada saat itu, umat Islam
berada di puncak sejarah dan pandangan serta sikap hidup Islam sudah begitu
akrab dalam kehidupan mereka. Jadi, ketika mereka mengatakan bahwa akal dapat
mencapai Tuhan, akal yang difahami mereka di sini adalah akal yang dimiliki
mereka, yang terbiasa dengan pandangan serta sikap hidup Islam. Mereka
berbicara sebagai seorang Islam. Sama juga jika seorang ahli tasawwuf
menyatakan bahwa dia menemui Tuhan di gereja Kristen, kuil Hindu atau masjid,
dia tidak bermaksud bahwa semua agama yang diwakili oleh institusi tersebut
sama wibawa dan derajat kebenarannya. Dia sekedar bermaksud, sebagai seorang
Islam yang faham, Tuhan itu senantiasa hadir, di manapun anda berada.
[16] QS Al-An’Ém (6): 75–77.
[17] Bdk. Happiness, hlm. 9; dan
diskusi pribadi dengan Al-Attas pada 20 Juli 1992.
[18] IS, hlm.140–141.