Selasa, 23 April 2013

Filsafat Ketuhanan; Perspektif Ibn Rusyd


Saat membahas masalah ketuhanan, Ibn Rusyd sering mengemukakan pendapat para teolog dan filsuf, seraya memberikan catatan, penilaian dan kritik terhadap pandangan mereka. Jika tidak sesuai dengan pandangannya, kritik yang argumentatif akan banyak dikemukakannya melalui jejaring sistematika holistik dari hasil kajian dan pemahamannya. Satu hal yang menjadi ciri khasnya, ia tidak memaparkan ulang pemikiran tokoh yang akan dikritik, namun ia langsung mengemukakan pendapatnya, disertai dengan menjelaskan titik singgung masalah sebagai internalisasi kritis terhadap pandangan mereka.

Dalam menjelaskan argumentasi tentang wujud Allah, Ibn Rusyd mengajukan dua konsep sebagai perpaduan antara rasionalitas dan teks yakni; dalil al-‘inayah dan dalil al-ikhtira’[1]. Kedua teori tersebut merupakan elaborasi isyarat-isyarat yang ia pahami dari nash syar’i (wahyu).

Secara etimologis, al-‘inayah berarti pertolongan, perhatian dan pemeliharaan, merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia. Menurut Ibn Rusyd dalil al-inayah tersebut dibangun atas dua pilar utama. Pertama, segala ciptaan yang ada di dunia ini didesain sedemikian rupa sehingga sesuai dan berguna bagi manusia, Kedua, kesesuaian itu terjadi karena skenario dan rancangan yang aksiomatik diciptakan Allah (darurah), dan bukan terjadi secara kebetulan saja. Semisal, penciptaan siang dan malam, matahari dan bulan dengan pergantian empat musim dan pelbagai fenomena kehidupan di dunia, adanya tumbuh-tumbuhan, hewan, air, api, udara dan sebagainya, semuanya sesuai dengan kebutuhan hidup manusia.[2]

Bahkan, dalam bukunya Risalah al-Atsar al-‘Ulwiyyah, Ibn Rusyd menegaskan adanya gugusan planet dan bintang gemintang, angin dengan pelbagai jenis dan perubahannya, fenomena air laut dengan pasang dan surutnya, yang mempunyai korelasi yang kuat dengan tanda-tanda gejala alam; terjadinya gempa dan sebagainya melalui kuasa dan ‘bahasa’ Tuhan, semua menunjukkan adanya Tuhan yang menggerakkan (kullu mutaharrik lahu muharrik).[3] Inilah metode pembuktian para filsuf, karena menurut Ibn Rusyd, tidak ada pengabdian kepada sang Pencipta yang lebih utama dari usaha secara optimal dan intens untuk mengetahui maha karya ciptaan-Nya, Dengan demikian, bagi seseorang yang ingin mengetahui kemaha sempurnaan dan maha kuasa Allah, ia harus melakukan eksplorasi terhadap alam dengan menyelidiki esensi dan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Bukti kedua yang dinyatakan adalah dalil al-ikhtira’ yang berarti penciptaan. Penciptaan alam ini yang teratur, terencana dan terkendali, menunjukkan bahwa ia diciptakan bukan tercipta dengan sendirinya. Dia menjadi sebab eksistensi dan adanya benda-benda tersebut. Dapat dikatakan bahwa teori ini selain analog dengan teori kausalitas, juga dengan teori gerak (al-harakah), yang menunjukkan bahwa alam ini senantiasa berada dalam gerak, dan gerak itu disebabkan oleh adanya penggerak. Teori ini merupakan pembuktian adanya Tuhan yang paling klasik, paling sederhana, dan juga paling menunjang keyakinan bagi seluruh strata manusia, baik awam maupun terpelajar.

Sebagaimana dalil al-‘inayah, dalil ini dibangun atas dua aspek utama; Pertama, segala sesuatu yang ada di alam  ini eksis karena diciptakan dan dijaga wujudnya, seperti tersedianya kebutuhan-kebutuhan makanan dan sebagainya. Kedua, setiap yang diciptakan pasti ada yang menciptakannya. Maka, seseorang yang ingin mengetahui wujud Allah, hendaklah ia berusaha mengetahui hakikat segala sesuatu, karena jika tidak maka ia tidak akan mengetahui hakikat penciptaan tersebut. Ibn Rusyd, sampai pada kesimpulan bahwa ayat-ayat kauniyah yang menjelaskan wujud Allah, jika diperhatikan akan ditemukan adanya tiga corak; ayat-ayat yang mengandung penjelasan dengan model dalil al-‘inayah, ayat-ayat yang menjelaskan melalui corak dalil al-ikhtira’ dan ayat-ayat y ang menggabungkan antara keduanya.[4]

Dari sini, eksistensi Tuhan dikukuhkan melalui pengalaman ganda. Kehidupan makhluk mengandaikan pemeliharaan dan kebergantungan mengandalkan pada Sang Pencipta. Akan tetapi, pembuktian itu terbebas dari sesuatu yang tidak bersifat analitis. Di sini Ibn Rusyd memperkenalkan kembali tesis ilmiahnya, dengan mengklain bahwa untuk mengetahui secara pasti bahwa Tuhan itu ada, seseorang harus mengaitkan eksistensi-Nya dengan eksistensi substansi sesuatu.

Di antara dipe-tipe lainnya, ada dua tipe pemahaman tentang bukti-bukti ini, yang cocok bagi orang awam untuk memahaminya yang sesuai dengan pengalaman indra mereka dan yang cocok bagi kalangan elite intelektual yang mengetahui bagaimana cara melihat bukti-bukti apodeiktik di dalamnya. Sebaliknya, Ibn Rusyd mengkritik metode kaum mutakallimin yang tidak dapat diakses oleh orang awam sekaligus tidak dapat mencapai demonstrasi yang riil. Ibn Rusyd berkesimpulan bahwa semuanya sama: siapa saja yang berusaha memecahkan kemungkinan adanya ambiguitas wahyu melalui interpretasi alegoris hanya akan sampai pada opini pribadi yang amat membingungkan, bahkan bisa jadi tidak dapat mencapai hasil yang diinginkan. Hal itu sebagaimana yang dipakai oleh sebagian filsuf dan mutakallimin yang menggunakan teori al-jauhar al-fard dan teori al-wajib wa al-mumkin dalam menjelaskan konsep ketuhanan[5]

Ibn Rusyd dikenal sebagai filsuf yang piawai dalam melakukan kritik terhadap filsuf atau teolog, tidak diragukan. Namun, pada titik ini juga kelemahannya. Ia terlihat demikian fanatik terhadap ‘guru’nya, Aristoteles, dan menempatkannya di atas filsuf yang lain. Bahkan oleh Renan, Ibn Rusyd dinilai sebagai seorang yang terlalu berlebihan dalam memandang Aristoteles dan menempatkannya sebagai filsuf Yunan yang paling rasional (a’qal al-Yunan). Ibn Rusyd melihat bahwa dimensi ilahi yang ada padanya lebih menonjol dari pada dimensi insaninya.




[1] Ibn Rusyd, Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqa’aid Ahl al-Millah, (Libanon: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyyah, 1997), p. 24-28
[2] Ibn Rusyd, Al-Kasyf ‘an Manahij, ibid, p. 150
[3] Ibn Rusyd, Risalah Al-Atsar Al-‘Ulwiyyah, editor Jirar Jihamy, (Libanon: Dar al-Fikr al-Lubnani, 1994), Cet. I, p. 48-54. Bandingkan dengan bukunya yang lain, Risalah al-Sama’ al-Tabi’i, terutama di pembahasan ke enam dan ketujuh.
[4] Ibn Rusyd, Al-Kasyf ‘an Manahij Al-Adillah, op.cit, p. 152
[5] Qasim Mahmud, dalam kata pengantar buku Ibn Rusyd, Mahahij al-Adillah, p. 27 Ibn Rusyd menyatakan: Fa ayyu muqaranah yumkinu an ta’qida baina mitsli hadza al-dalil wa dalil al-jauhar al-fard au dalil al-mumkin wa al-wajib, au ghairuhuma min al-adillah ghair al-falsafiyyah wa al-syar’iyyah allati tunmi qudrah al-jadal duna an tusa’id – bi halin ma – ala tahsil al-ma’arif aljadidah. Bandingkan dengan Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), cet. I, p. 72

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...