Saat membahas masalah ketuhanan,
Ibn Rusyd sering mengemukakan pendapat para teolog dan filsuf, seraya memberikan
catatan, penilaian dan kritik terhadap pandangan mereka. Jika tidak sesuai
dengan pandangannya, kritik yang argumentatif akan banyak dikemukakannya
melalui jejaring sistematika holistik dari hasil kajian dan pemahamannya. Satu
hal yang menjadi ciri khasnya, ia tidak memaparkan ulang pemikiran tokoh yang
akan dikritik, namun ia langsung mengemukakan pendapatnya, disertai dengan
menjelaskan titik singgung masalah sebagai internalisasi kritis terhadap
pandangan mereka.
Dalam menjelaskan argumentasi tentang
wujud Allah, Ibn Rusyd mengajukan dua konsep sebagai perpaduan antara
rasionalitas dan teks yakni; dalil al-‘inayah dan dalil al-ikhtira’[1].
Kedua teori tersebut merupakan elaborasi isyarat-isyarat yang ia pahami dari
nash syar’i (wahyu).
Secara etimologis, al-‘inayah
berarti pertolongan, perhatian dan pemeliharaan, merupakan anugerah yang
diberikan Allah kepada manusia. Menurut Ibn Rusyd dalil al-inayah tersebut
dibangun atas dua pilar utama. Pertama, segala ciptaan yang ada di dunia
ini didesain sedemikian rupa sehingga sesuai dan berguna bagi manusia, Kedua,
kesesuaian itu terjadi karena skenario dan rancangan yang aksiomatik diciptakan
Allah (darurah), dan bukan terjadi secara kebetulan saja. Semisal,
penciptaan siang dan malam, matahari dan bulan dengan pergantian empat musim
dan pelbagai fenomena kehidupan di dunia, adanya tumbuh-tumbuhan, hewan, air,
api, udara dan sebagainya, semuanya sesuai dengan kebutuhan hidup manusia.[2]
Bahkan, dalam bukunya Risalah
al-Atsar al-‘Ulwiyyah, Ibn Rusyd menegaskan adanya gugusan planet dan
bintang gemintang, angin dengan pelbagai jenis dan perubahannya, fenomena air
laut dengan pasang dan surutnya, yang mempunyai korelasi yang kuat dengan
tanda-tanda gejala alam; terjadinya gempa dan sebagainya melalui kuasa dan ‘bahasa’
Tuhan, semua menunjukkan adanya Tuhan yang menggerakkan (kullu mutaharrik
lahu muharrik).[3]
Inilah metode pembuktian para filsuf, karena menurut Ibn Rusyd, tidak ada
pengabdian kepada sang Pencipta yang lebih utama dari usaha secara optimal dan intens
untuk mengetahui maha karya ciptaan-Nya, Dengan demikian, bagi seseorang yang
ingin mengetahui kemaha sempurnaan dan maha kuasa Allah, ia harus melakukan
eksplorasi terhadap alam dengan menyelidiki esensi dan hikmah yang terkandung
di dalamnya.
Bukti kedua yang dinyatakan adalah dalil
al-ikhtira’ yang berarti penciptaan. Penciptaan alam ini yang teratur,
terencana dan terkendali, menunjukkan bahwa ia diciptakan bukan tercipta dengan
sendirinya. Dia menjadi sebab eksistensi dan adanya benda-benda tersebut. Dapat
dikatakan bahwa teori ini selain analog dengan teori kausalitas, juga dengan
teori gerak (al-harakah), yang menunjukkan bahwa alam ini senantiasa
berada dalam gerak, dan gerak itu disebabkan oleh adanya penggerak. Teori ini
merupakan pembuktian adanya Tuhan yang paling klasik, paling sederhana, dan
juga paling menunjang keyakinan bagi seluruh strata manusia, baik awam maupun
terpelajar.
Sebagaimana dalil al-‘inayah,
dalil ini dibangun atas dua aspek utama; Pertama, segala sesuatu yang
ada di alam ini eksis karena diciptakan
dan dijaga wujudnya, seperti tersedianya kebutuhan-kebutuhan makanan dan
sebagainya. Kedua, setiap yang diciptakan pasti ada yang menciptakannya.
Maka, seseorang yang ingin mengetahui wujud Allah, hendaklah ia berusaha mengetahui
hakikat segala sesuatu, karena jika tidak maka ia tidak akan mengetahui hakikat
penciptaan tersebut. Ibn Rusyd, sampai pada kesimpulan bahwa ayat-ayat kauniyah
yang menjelaskan wujud Allah, jika diperhatikan akan ditemukan adanya tiga
corak; ayat-ayat yang mengandung penjelasan dengan model dalil al-‘inayah,
ayat-ayat yang menjelaskan melalui corak dalil al-ikhtira’ dan ayat-ayat
y ang menggabungkan antara keduanya.[4]
Dari sini, eksistensi Tuhan
dikukuhkan melalui pengalaman ganda. Kehidupan makhluk mengandaikan
pemeliharaan dan kebergantungan mengandalkan pada Sang Pencipta. Akan tetapi,
pembuktian itu terbebas dari sesuatu yang tidak bersifat analitis. Di sini Ibn
Rusyd memperkenalkan kembali tesis ilmiahnya, dengan mengklain bahwa untuk
mengetahui secara pasti bahwa Tuhan itu ada, seseorang harus mengaitkan
eksistensi-Nya dengan eksistensi substansi sesuatu.
Di antara dipe-tipe lainnya, ada
dua tipe pemahaman tentang bukti-bukti ini, yang cocok bagi orang awam untuk
memahaminya yang sesuai dengan pengalaman indra mereka dan yang cocok bagi
kalangan elite intelektual yang mengetahui bagaimana cara melihat bukti-bukti
apodeiktik di dalamnya. Sebaliknya, Ibn Rusyd mengkritik metode kaum
mutakallimin yang tidak dapat diakses oleh orang awam sekaligus tidak dapat
mencapai demonstrasi yang riil. Ibn Rusyd berkesimpulan bahwa semuanya sama:
siapa saja yang berusaha memecahkan kemungkinan adanya ambiguitas wahyu melalui
interpretasi alegoris hanya akan sampai pada opini pribadi yang amat
membingungkan, bahkan bisa jadi tidak dapat mencapai hasil yang diinginkan. Hal
itu sebagaimana yang dipakai oleh sebagian filsuf dan mutakallimin yang
menggunakan teori al-jauhar al-fard dan teori al-wajib wa al-mumkin dalam
menjelaskan konsep ketuhanan[5]
Ibn Rusyd dikenal sebagai filsuf
yang piawai dalam melakukan kritik terhadap filsuf atau teolog, tidak
diragukan. Namun, pada titik ini juga kelemahannya. Ia terlihat demikian
fanatik terhadap ‘guru’nya, Aristoteles, dan menempatkannya di atas filsuf yang
lain. Bahkan oleh Renan, Ibn Rusyd dinilai sebagai seorang yang terlalu
berlebihan dalam memandang Aristoteles dan menempatkannya sebagai filsuf Yunan
yang paling rasional (a’qal al-Yunan). Ibn Rusyd melihat bahwa dimensi
ilahi yang ada padanya lebih menonjol dari pada dimensi insaninya.
[1] Ibn Rusyd, Al-Kasyf ‘an Manahij
al-Adillah fi ‘Aqa’aid Ahl al-Millah, (Libanon: Markaz Dirasat al-Wihdah
al-Arabiyyah, 1997), p. 24-28
[2] Ibn Rusyd, Al-Kasyf ‘an Manahij, ibid,
p. 150
[3] Ibn Rusyd, Risalah Al-Atsar
Al-‘Ulwiyyah, editor Jirar Jihamy, (Libanon: Dar al-Fikr al-Lubnani, 1994),
Cet. I, p. 48-54. Bandingkan dengan bukunya yang lain, Risalah al-Sama’
al-Tabi’i, terutama di pembahasan ke enam dan ketujuh.
[4] Ibn Rusyd, Al-Kasyf ‘an Manahij
Al-Adillah, op.cit, p. 152
[5] Qasim Mahmud, dalam kata pengantar buku
Ibn Rusyd, Mahahij al-Adillah, p. 27 Ibn Rusyd menyatakan: Fa ayyu
muqaranah yumkinu an ta’qida baina mitsli hadza al-dalil wa dalil al-jauhar
al-fard au dalil al-mumkin wa al-wajib, au ghairuhuma min al-adillah ghair
al-falsafiyyah wa al-syar’iyyah allati tunmi qudrah al-jadal duna an tusa’id –
bi halin ma – ala tahsil al-ma’arif aljadidah. Bandingkan dengan Dominique
Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd (Surabaya : Risalah Gusti, 2000), cet. I, p. 72