Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terhadapku, kau akan menerima sepuluh patah balasannya.” Jalaluddin Rumi, yang kebetulan lewat, mendengar pertengkaran itu. Dia mendatangi mereka dan berkata, “Saudara! Persediaan makian macam apa pun yang kalian punyai tumpahkanlah atas diriku. Kalian boleh melemparkan beribu makian padaku, dan kalian tak akan menerima balasan satu pun.” Dua orang yang bertengkar itu lupa akan segala makian mereka, bersujud di kaki Rumi dan mereka pun berdamai.
Jalaluddin
Rumi, penyair Sufi terbesar yang pernah dilahirkan dunia, yang karyanya Mathnawi
termasyhur, lahir di Balkh pada 1207 M.
Dia berasal dari keluarga ulama besar, keturunan Khalifah Islam pertama.
Kakeknya, husain Balkhi, adalah sarjana kebatinan yang begitu dihormati,
sehingga Sultan Muhammad Khwarizm Shah mengawingkan anak perempuannya
dengannya. Dengan demikian, penguasa Khawarizm adalah kakek Jalaluddin Rumi
dari pihak ibu.
Syeikh
Bahauddin Balki, ayah Jalaluddin Rumi, diakui sebagai ahli ilmu pengetahuan
terbesar dari zamannya di dunia Islam. Muhammad Khawarizm Shah menjai murid
Syikh Bahauddin, dan acap kali mengunjunginya. Dia memberikan pendidikan dan
memberi kuliah tentang segala persoalan.
Tetapi,
oleh persaingan di Istana, Syikh Bahauddin meninggalkan Balkh, diikuti oleh
ratusan muridnya dan para pengikutnya bermigrasi ke arah Barat. Dia melewati
Nishapur, dan pada tahun1212 bertemu kepada Syeikh Fariduddin Attar. Menurut
penulis-penulis kronik, Fariduddin memeluk Jalaluddin, dan meramalkan
kebesarnnya, mendoakan serta memberi sebuah salinan dari sajaknya, Asrar
Nama. Dari Nishapur, Syeikh Bahauddin tiba di Baghdad, tempat dia bermukim
beberapa tahun, memberi kuliah tentang soal-soal agama. Duta dari penguasa
dinasti Saljuk, Kaikobad, yang juga menghadiri kuliah-kuliah itu, memujikan
pengetahuan Syeikh itu yang dalam kepaa rajanya. Raja Kaikobad ikut menjadi
murid Syeikh Bahauddin. Dari Baghdad, Syeikh dan rombongannya pergi Hejaz,
kemudian ke Zanjan, dan tinggal setahun di sana. Kemudian, syeikh berangkat ke
Larinda (Kirman), tempat dia menetap tujuh tahun. Di sini dia mengawinkan
anaknya Jalaluddin Rumi dengan seorang wanita bernama Gauher, yang kelak
melahirkan dua putra, Sultan Veld dan Alauddin. Penguasa Saljuk, Alauddin
Kaikobad, seorang pengagum Syeikh, mengundangnya untuk tinggal di ibu kota.
Menyetujui undangan itu, maka Syeikh pun berangkat ke Konya (Inconium), ibu
kota kerajaan Saljuk. Raja Seljuk dan orang-orang istananya menyambut Syeikh di
luar kota, dan mengiringnya dengan berjalan kaki. Di kota inilah Syiekh
Bahauddin ,ayah Maulana Jalaluddin, wafat pada tahun 1231 M.
Jalaluddin
mendapat pendidikan pertam adari ayahnya yang terpelajar. Di antara para murid
ayahnya, ada seorang sarjana terkenal, Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq. Jalaluddin
dipercayakan ke tangan sarjana ini; dia mengajarkan Maulana semua soal dunia.
Setelah ayahnya meninggal, Jalaluddin Rumi, yang berusia 25 tahun, pergi ke
Damaskus dan Aleppo, dua pusat ilmu pengetahuan, untuk mendapat pendidikan
lebih tinggi di masa itu. Sayyid Bahauddin juga mengajari Jalaluddin adat dan
pengetahuan mistik. Sesudah gurunya meniggal, Jalaluddin jatuh kedalam pengaruh
– dan mendapat pendidikan – dari Shams-I-Tabriz, “tokoh aneh’ yang digambarkan
Nicolson: “Mengenakan pakaian hitam yang kasar, yang melintas cepat sesaat
dihadapan kita, dan menghilang secara tragis.”
Maulana
Jalaluddin Rumi menjadi seorang sarjana besar, seorang putra yang pantas dari
ayah yang terpelajar, dikelilingi oleh sarjana-sarjana dan pengikut-pengikut
yang tertarik dari bagian-bagian jauh dunia Islam. Di sini, pada tahun 624 H, dia bertemu dengan
Shams-I-Tabriz. Perjumpaan ini terbukti merupakan titik balik dalam
kehidupannya. Dari seorang guru duniawi, Rumi menjadi pertapa. Ia melemparkan
semua kemeghahan dan kesenangan duniawi, mengundurkan diri kekehidupan
sembahyang dan doa, dan ketaatan kepada guru kebatinannya, Shams-I-Tabriz.
Perubahan tiba-tiba dalam kehidupannya ini menimbulkan kegelisahan di antara
murid-muridnya. Untuk menenangkankegelisahan mereka, Shams-I-Tabriz menhilang
dari Konya pada satu malam. Perpisahan dengan guru itu membuat Maulana tidak
senang sama sekali, dan memberikan reaksi terhadap kejadian ini dengan
meniggalkan keduniaan. Hal ini menimbulkan kekacauan yang dalam di kalangan
keluarganya. Karena itu, putranya tertua diutus untuk mencari Shams-I-abris.
Dia membawanya kembali ke Koyna dari Damaskus. Guru dan murid-muridnya tetap
bersama-sama untuk sementara, dan pada suatu hari, karena dijengkelkan oleh
sementara murid Maulana, Shams-I-Tabriz sekali lagi menghilang dari Konya untuk
selam-lamanya. Pencarian yang tuntas terhadap wali itu, seklipun Rumi sendiri
ambil bagian, berakhir dengan kegagalan.
Menghilangnya guru kebatinan
ini mebawa perubahan besar dalam hidup Rumi, dan memberi ketajaman pada
sentimen-sentimannya dan naluri inspirasi puitiknya, yang selama ini terpendam.
Transformasi kerohanian yang revolusioner ini mencapai klimaks dengan curahan
puitik yang tak terkendalikan. Awal dari Matnawi, karya abadinya,
dikerjakan dalam periode ini.
Jalaluddin Rumi
telah membukakan pintu bagi kelahiran sebarisan ahli mistik, yang kemudian
disebut Jalalia. Yang termashur di antara mereka, Syeikh Bu Ali Qalander dari
Panipat, tinggal bersama Rumi untuk beberapa tahun, dan banyak terpengaruh
olehnya. Seorang wali terkenal lainny, Syeikh Shabuddin Suhrawardy, juga
mengambil manfaat dari didikan Rumi. Syeikh Sa’di, penyair dan moralis Persia
termasyhur, menururt pengarang Manaqib-ul-Aarfeen, juga telah mengunjungi Rumi di Konya.
Jalaluddin Rumi
meninggalkan dua karya yang memberi dia kemasyhuran, Diwan dan Mathnawi
yang abadi. Diwan,yang berisi 50.000 bait, terutama lirik mistik, pernah
dianggap sebagai gubahan guru kebatinannya Shams-I-Tabriz, karena nama guru itu
berkali-kali digunakan pada bait-bait akhir. Bagian terbesar karya ini digubah
Rumi sesudah menghilangnya guru kebatinan itu, sementara Rida Quli Khan menganggap
bagian utama karya ini digubah dalam memperingati kematian yang sang guru.
Menurut Nicholson, “Suatu bagian bari Diwan digubah ketika
Shams-I-Tabriz masih hidup, kemungkinan bagian terbesarnya diguah kemudian.”
Lirik-lirik
Maulana penuh dengan kejujuran dan keagungan, emosi yang dalam dan semangat
melupakan, yang memberi ciri karya-karya penyair mistik Persia, termasuk Sanai
dan Attar. Lirik ini bebas dari ornamentasi dan pasitivi (hiasan dan
ketidakpedulian), seperti yang lazim pada lirik Salman Khakani,dan Anwari.
Itulah masa
berkembangnya penyair-penyair madah (panegyrists) besar di Persia,
begitu hebat hingga penyair-penyair sekaliber Sa’di dan Iraqi puin tak bisa
menahan diri mencoba-coba menggubah syair-syair pujian.
Tetapi, Maulana
Rumi mengelakkan diri dari keburukan sosial yang tumbuh ini. Dia membatasi
puisinya pada penerjemahan jujur perasaannya yang sesungguhnya ke dalam syair.
Naluri dengan kelimpahan perasaan, lirik-liriknya mempunyai pesona puitik yang
kuat, yang mengangkat seseorang kedunia yang lebih tinggi. Di menggugah
perasaan-perasaan manusia yang lebih tinggi dan mulia.
Dengan keruntuhan
kekuasaan Seljuk di Persia, pelindung para penyair pun lenyap. Sejak itu
penyair memberi perhatian yang lebih besar kepada lirik, sebaliknya dari syair
pujian. Penyair-penyir yang memperhalus lirik, dan membuana menjadi wahan
perasaan-perasaan yagn tulus, adalah Rumi Sa’di, dan Iraqi. Maulana sendiri
seorang mistik eremashur, maka dia secara setia menggambarkan berbagai taraf
dari cinta, yang telah dialaminya dalam hidupnya.
Mathnawi, karyanya
yang abadi, tak diragukan lagi adalah buku yang paling popular dalam bahasa
Persia. Buku ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa Timur dan Barat, dan
telah memberinya tempat terhormat di antara sedkit penyair abadi di dunia.
Menurut penul;is buku Majma-us-Safa,
empat buah buku terbaik dalam bahasa Persia adalah
Shahnam-I-Firdausi, Gulistan-I-Sadi, Mathnawi-I-Rumi dan Diwani-I-Hafiz tetapi
karya Rumi Mathnawi dianggap paling popular dari semua. Sejak semula dia
menjadi kesayangan kaum intelektual dan agamawan. Sejumlah ulasan telah ditulis
tentang buku ini.
Karya Maulana yang terdiri
dari 6 buku dan memuat 26.660 bait, dan diselesaikan dalam 10 tahun. Menurut
pengarangnya, Mathnawi berisi, “Akar-akar agama dan penemuan
kegaiban-kegaiban alam dan pengetahuan Ketuhanan”. (Pengantar bahasa Arab pada
Buku I). “Di dalamnya terdapat sejumlah besar anekdot pengembaraan,” tulis
Browne dalam Sejarah Literer Persia. “Juga mengenai banyak watak, yang
agung maupun dan bermartaat, yang aneh-aneh, diselingi
penyimpanagan-penyimpangan mistik dan teosofi. Bahkan watak yang paling sulit
dimengerti, dalam kontras yang tajam dengan bagian-bagian penceritaan,
sekalipun menampilkan beberapa gaya ucapan yang pelik, bisa ditulisnya dalam
bahasa yang sederhana dan terang. “Buku itu luar biasa, dibuka dengan spontan,
tanpa lagu-lagu pujian (zikir) yang lazim, hanya dengan bagian yang indah dan
terkenal, diterjemahkan oleh Almarhum Profesor E.H. Palmer dengan judul Nyanyian
Buluh.
Mathwani (sajak
naratif yang panjang) sebagai bentuk persajakan memulai kelahirannya dalam
perlindungan Mahmud dari Ghaszani. Firdausi kemudian menjadikan bentuk ini
sebagai wahana mengisahkan sejarah lama Persia dalam karyanya yang abadi, Shah
Nama. Setelah itu, Hakim Sinai menulis Hadiqa, syair mistik pertama
dalam bahasa Persia, kemudian diikuti oleh Khwaja Fariduddin Attar, dengan
menulis beberapa Mathwani yang penuh dengan pemikiran mistik. Tetapi, Mathnawi
Jalaluddin Rumi yang menandai klimaks persajakan puitik mistik, dan termasuk
dalam syair-syair abadi di dunia.
Di antara faktor yang
mendukung popularitas karya padu yang tiada tertandingi ini adalah keagungan
pikiran dan kehalusan kumpulan gagasan, yang disajakkan dengan cara sederhana
luar biasa, hampir-hampir tidak ditemukan dalam bahasa lain. Nilai-nilai etik
dan mistiknya dengan indah diungkapkan melalui kisah-kisah yang cerdas, dan
perumpamaan-perumpamaan yang diambil dari kehidupan sehai-hari. Cara Malauna
menerangkan problem-problem etik dan mistik yang berseluk-beluk itu, melalui
cerita-cerita yang realistis, cukup menunjukkan bahwa ia mempunyai wawasan yang
tajam kedalam rahasia-rahasia watak manusia. Bersama dia, seni mengajarkan
moralitas melalui cerita, seperti dalam kehidupan sebenarnya, telah mencapai
puncaknya. Dia menunjukkan sifat-sifat yang sebenarnya, telah mnecapai
puncaknya. Dia menunjukkan sifat-sifat buruk manusia yang tersembunyi dengan
cara sedemikian rupa, sehingga orang merasa telah mengetahui hal itu
sebelumnya.
Ciri
pokok syairnya adalah keagungan pikiran dan kesederhanaan serta spontanitas
penyajiaannya. Sebaliknya dari pesimisme dan kehidupan pasrah, seperti yang
diperaktekkan dan dikhotbahkan oleh kaum mistik secara umum, Maulana
mengajarkan optimiseme yang sehat, dan suatu kehidupan yang penuh denagan
ekegiatan. Dalam salah satu ceritanya, di
mempertahankan, bahwa kepercayaan diri sendirilah yang dimaksud oleh
majikan ketika memberikan pacul ke tangan seorang buruh. Dengan cara yang sama
pula Tuhan memberi kita tangan dan kaki, dan ingin agar kita menggunakan
pemberian Tuhan itu. Sebab itu, hidup menolak dunia dan pasrah sesungguhnya
bertentangan dengan kemauan Tuhan. Islam mengajarkan, seseorang harus berusaha
sebaik-baiknya dan menyerahkan keputusannya kepada-Nya.
Sebelum bertemu dengan
Shams-I-Tabriz, Maulana menjalani kehidupan semarak dan penuh kemegahan. Kemana
saja ia pergi, dia diiringi oleh sejumlah besar pengikut dan murid. Sesudah itu
dia menghabiskan waktunya dalam doa dan renungan. Biasanya di menghabiskan
seluruh malam dengan shalat.
Dia sangat berprikemanusiaan
dan pemurah. Penguasa-penguasa negeri tetangga dan orang-orang istananya
mengirimkan hadiah-hadiah berharga, yang biasanya disedekahkan secara merata
oleh Rumi di antara kaum miskin. Jika tidak ada makanan di rumhahnya, dia malah
senang sekali malah berkata, “Hari ini rumah kita serupa dengan rumah para
wali.” Dia begitu pemurah, sehingga bisa menawarkan apa yang lekat di badannya
kepada seseorang yang memerlukan.
Dia menjauhi pergaulan dengan
para penguasa dan orang istana. Para penguasa dan para mentri saling bersaing
untuk menjadi orang yang disenangi oleh Rumi. Mereka sewaktu-waktu mengunjungi
Maulana, tapi dia selalu mengelak sedapat mungkin.
Jalaluddin konon diberkahi
dengan kekuatan ghaib sejak masa kanaknya. Tentang hal itu, ada anekdot sebagai beriktu:
Sebagai anak kecil berumur 11
tahun, pada suatu hari Rumi bermain-main dengan teman-temannya di atas atap
rumahnya. Rumi menganjurkan mereka sebaiknya pindah ke rumah depan, dan
meneruskan bermain di sana. Tapi, dia sendiri tak mau turun bersama merea, dan mengatakan bahwa dia akan
melompat kerumah depan, sekalipun ada jalan yang lebar di antara kedua rumah
itu. Itu lebih baik dari pada menuruni tangga. “Bagaimana hal itu mugkin? Kalau
bukan jin, dan kau pun tak mempunyai lampu Aladdin untuk membawa kau keseberang
melalui atap,” teriak teman-temannya. Ketika mereka sampai ke atap di seberang
jalan itu, teman-temannya tercengang menemui Rumi sudah di sana.
Jalaluddin wafat pada 1273 M,
dan dimakamkan dalam makam besar yang dibangun melingkupi kuburan ayanya di
Konya, oleh Alauddin Kaikobad, penguasa Seljuk. Rakyat dari segala golongan dan
lapisan mengantarkan jenazahnya, menangis dan meratap. Orang-orang Kristen dan
Yahudi membacakan kitab-kitab mereka. Raja Seljuk, yang ikut mengantarkan
jenazahnya, bertanya kepada orang-orang ini, apa hubungan mereka dengan Maulana
yang shaleh itu. Mereka menjawab, “Jika yang meniggal ini sekiranya sama dengan
Muhammad saw bagi Anda, maka dia bagi kami seumpama Kristus dan Musa.” Seluruh
penduduk keluar untuk memberikan penghormatan terakhir pada orang suci yang
berangkat itu.
Jalaluddin Rumi adalah
seorang penyair penting, seorang sufi
termasyhur, dan atas segalanya, seorang besar. “Dia tak diragukan lagi
adalah penyair Sufi yang paling ulung, yang telah dilahirkan Persia,” tulis
Browne, “sementara karya mistiknya Mathawani pantas mendapat tempat di
antara puisi besar segala zaman.”